Sabtu, 08 Juni 2013

Sejarah Simanjuntak



INDUK MARGA BATAK & CABANG-CABANGNYA

1
Siraja Batak à
2
1.Guru Tatea Bulan (Toga Datu)
2.Siraja Isumbaon  (Toga Somba)

1. Keturunan Guru Tatea Bulan (Toga Datu)
2
1.Guru Tatea Bulanà
3
1. Saribu Raja à






















2. LimbongMulanaà


3. Sagala Raja à



4. Malau Raja à
4
1. Si Raja Lontung à

















2. Si Raja Borbor à




Palu Onggang
Langgat Limbong

Hutaruar;Hutabagas;
Hutaurat.


Pase, Nilambean, Manik
&Damanik, Ambarita,
Gurning
                     6 (yang tanda kurung)
1.Toga Sinaga (Bonor, Ompu Ratus, Uruk)
2.Toga Situmorang (Pande, Lumban Nahor,  
    Suhut ni Huta, Siringoringo, Rumapea,
    Sitohang)
3.Toga Pandiangan ( Pandiangan, Samosir,
    Gultom, Harianja,  Pakpahan, Sitinjak)
4.Toga Nainggolan :
   Toga sibatu (Sibatuara, Parhusip)
   Toga Sihombar (Lbn.Nahor, Lbn.Tungkup,
    Lbn. Raja, Lbn.  Siantar, Hutabalian)
5.Toga Simatupang (Togatorop, Sianturi,
   siburian)
6.Toga Aritonang (Ompu Sunggu, Rajagukguk,
   Simaremare)
7.Toga Siregar (Silo, Dongoran, Silali /Ritonga /
    sormin, Siagian)

(Pasaribu, Harahap, Parapat, Matondang,
Sipahutar, Tarihoran, Saruksuk, Lubis, Batubara,
Pulungan, Hutasuhut, Daulay).


2. Keturunan Raja Isumbaon (Toga Sumba)

1
Siraja Batak à
2
1.Guru Tatea Bulan
   (Toga Datu)

2.Siraja Isumbaon à
   (Toga Somba)
3



1. Tuan Sorimangarajaà
2. Si Raja Asiasi (x)
3. Sangkar Somalidang (x)
    (x)Turunannya tidak jelas
4



1. Naiambataon  (Tuan Sorbadijulu).
  (PARNA); Parsadaan Raja Nai Ambaton)
2. Nairasaon (Tuan Sorbadijae)
3. Naisuanon (Tuan Sorbadibanua)

4
1. Naiambataonà




2. Nairasaon     à




3. Naisuanon   à
5                                            6 (yang tanda kurung)
1. Simbolon Tua (Simbolon,Tinambunan,Tumanggor,Turutan,Pinayungan,Maha,Nahampun)
2. Tamba Tua (Tamba, Sidabutar, Sidabalok, Siadari, Sijabat)
3. Saragi Tua (Saing,Simalango,Simarmata,Nadeak,Sidabungke,Rumahorbo,Sitio,Napitu)
4. Munte Tua (Munte, Sitanggang, Sigalingging)

1. Raja Mangareak  à(1. Manurung
2. Raja Mangatur     à(2. Sitorus
                                          3. Sirait
                                          4. Butarbutar

1. Tuan Sorba Dibanua
2. Raja Tunggul

4
1. Naisuanon  à
Tn.Sorba Dibanua













2. Raja Tunggulà       
5
1. Sibagotni Pohanà




2. Sipaet Tua          à


3. Silahi Sabungan à


4. Si Raja Oloan      à



1. Si Raja Sobu       à


2. Siraja Sumba      à


3. Siraja Naiposposà
6                        7 (yang tanda kurung)
1. Tuan Sihubil (Tampubolon)
2. Tuan Somanimbil (Siahaan, Simanjuntak, Hutagaol)
3. Tuan Dibangarna (Panjaitan, Silitonga, Siagian, Sianipar)
4. Sonak Malela (Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, Pardede)

(Hutahaean, Aruan, Hutajulu, Sibarani, Sibuea,
  Pangaribuan, Hutapea)

(Silalahi, Sihaloho, Situngkir, Sondi, Sinabutar, Sinabariba,
  Sinabang, Pintubatu, Tambun/Tambunan)

(Naibaho, Sihotang, Bakkara, Sinambela, Sihite, Manullang)



(Sitompul, Hasibuan, Hutabarat, Panggabean, Simorangkir,  
 Hutagalung, Hutapea/Tobing)

1. Sihombing (Silaban, Lumban Toruan, Nababan, Hutasoit)
2. Simamora (Purba, Manalu, Debataraja, Tuan Sumerhan)

(Marbun: Lbn.Batu, Banjar Nahor, Lbn. Gaol, Sibagariang,
Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang)







Diagram Silsilah Simanjuntak
7 (1)

1.Simanjuntakà
(R.Marsundung)
8 (2)

 1. Mardaupà








2. Sitombukà





3. Hutabulu à
9 (3)

1.Namora Tano   à


2.Namora Sende à


3.Tuan Sibadogil à


1. Datu Pijor
2. Datu Dolok
3. Tuan Guntar
4. Datu Silo
5. Pande Aek


1. Raja Odong   à














2. Tumonggo Tuà
10 (4)

1. Pande Jereng
2. Mira Solaosan

1. Dari Mangambat
2. Paranjak

1. Tuan Marhohak
2. Raja Diam
3. Namora Tinungkun







1. Raja Bolak Hambing
    (Raja Parhambing)
2. Tuan Nahoda Raja
3. Maharia Raja
    (Mangorong Bahut)
4. Raja Marleang
    (Marleang Bosi)
5. Raja Manorhap
    (Raja Situnggal)
6. Raja Maega;
    Gelar Op.Toga Oloan
7. Sitingkir Ulubalang;
    Gelar Partahi Oloan
    (Datu Malela)

1. Sibursok Ronggur
2. Sibursok Datu
3. Sibursok Pati .......à
11 (5)



































1. Sitingkir Ulubalang
    Gelar Partahi Oloan
    (Datu Malela)
2. Pallupuk
3. Guru Sosunggulon
4. Raja Sohatahutan
5. Raja Mandalo
6. Guru Marlohot
7. Raja Naposo          

 Note ; 7 (1) baca; Generasi ketujuh dari si raja Batak.....dan (1) generasi pertama dari Marga


Daftar isi
   Ø  Awal Konflik
   Ø  Kelahiran R.Mardaup; R.Sitombuk; R.Hutabulu)
   Ø  Darah manusia untuk Ruma Gorga (Rumah Sakti)
   Ø  Pesan Sibosihon Boru Sihotang.
   Ø  Kematian Siboru Hagohan Naindo
   Ø  Tipu Muslihat (Parsuratan) versus Akal (Hutabulu)
       I.   Kisah Keturunan R.Mardaup
       II.  Kisah Keturunan R.Sitombuk
       III. Kisah Keturunan R.Hutabulu
            1. R.Odong
            2. Tumonggo Tua
                A. Kisah Keturunan Tumonggo Tua
                    1. Sibursok Ronggur
                    2. Sibursok Datu
                    3. Sibursok Pati
                B. Kisah Keturunan Sibursok Pati
                    1. Sitingkir Ulu Balang
                    2. Pallupuk
B. Kesimpulan

Lagenda
Nama siraja Batak, diucapkan didalam setiap ucapan “Tetua Adat”;
“Nungga Tuat Nadolok, manantan oppui. (Tuhan YME, mencipatkan awal manusia)
Oppui Siraja Batak, ditano panantananna. (Dialah Siraja Batak, ditanah ciptanNya)
Situbuhon anak nabisuk, sian tano panantananna. (melahirkan anak yang bijak, ditempat ia diciptakan)
Ima sianjur mula-mula, (ditanah sianjur awalnya),
Sianjur mulajadi, mula hata,  (Sianjur awal penciptaan, awal perkataan),
mula patik, mula uhum, jala mulani harajaon”. (awal pesan moril, awal hukum, dan awal kerajaan).

Alkisah, Setelah kedua anak siraja Batak dewasa, di pagi hari dipanggilnyalah kedua anaknya; anakku; bulanku sudah dekat, matahariku juga sudah makin redup,  pergilah kalian mengambil makanan yang paling enak kepadaku, karena dengan begitu, maka hatikupun akan senang memberkati kalian. Merekapun menurutinya lalu masing-masing pergi mengambil hewan yang ter-enak untuk dihidangkan kepada ayahnya.

 Anak yang paling besar (Tatea Bulan) pergi ke tombak (hutan) sibisa,  dilihatnyalah musang dan dengan cekatnya ditangkapnya. Dalam hatinya; musang ini dagingnya sangat enak dan manis untuk dimakan, ayah pasti sangat senang untuk menikmatinya. Ia pun cepat-cepat pulang lalu memanggangnya.

Tidak lama kemudian adiknya Sumbaon datang membawa lomok-lomok (anak babi kecil tanggung) yang ditangkapnya dari tombak (hutan) sigala-gala, ia pun cepat-cepat pulang dan segera mengerjakannya; sebahagian dipanggang, sebahagian lagi dimasak saksang, sementara tulang-belulangnya dibuatkan soup.  Pada saat yang bersamaan mereka lalu menghidangkannya kepada ayahnya;

Pertama sekali Tatea Bulan datang menghidangkan makanan kepada ayahnya seraya berkata; Ayah ini daging musang makanan kesukaanmu, makanlah dengan senang hati. Ayahnyapun memakannya. 
Selanjutnya anaknya yang nomor dua (Sumbaon) datang lagi dengan menghidangkan makanan yang dibuatnya. Ayah ini lomok-lomok; ada yang dipanggang, ada yang dicincang (sangsang), ada juga yang di sop. Ayahnyapun memakannya satu persatu, seraya berkata; sungguh sangat enak panggang dan  saksangnya ini, begitu juga kuah sopnya, yang telah membuat hatiku berbinar-binar untuk memberkati kalian, mendekatlah kemari katanya kepada kedua anaknya;  

Aku adalah ayahmu “Siraja Batak”; awal manusia ditanah Batak ini, aku juga penentu batas hidup, arah dan kebesaran bagi anak-anakku. Karena aku adalah awal kebesaran yang pertama hidup disini, maka kepadaku diberikan kuasa oleh Mulajadi Nabolon untuk menentukan arah dan tujuan hidup generasiku.

Iapun memberkati anaknya “Tatea Bulan”.
Anakku; Dari makanan yang kau hidangkan kepadaku, hal itu pertanda sifat yang kau miliki bahwa kepadamu akan kuberikan berkat talenta untuk memegang Pustaha Surat Agong.
Namamu sekarang bukan lagi “Tatea Bulan” tapi “Guru Tatea Bulan”, karena kamu adalah pusat dari ilmu segala ilmu “nujum dan kegaiban” (Goarmu sonari dangbe “Tatea Bulan” alai gabe “Guru Tatea Bulan” nama, alana ingkon marguru toho do sude nasa par ruji-ruji-on nang hadatuon). Dan Kepadamu kuberikan kuasa untuk membuka tabir hal-hal yang tersembunyi dan yang akan terjadi kelak.

Lalu, Iapun memberkati anaknya Sumbaon.
Anakku; Dari makanan yang kau hidangkan kepadaku, dengan begitu lengkapnya, hal itu pertanda sifat yang kau miliki bahwa kamu adalah ahli dalam memerintah (harajaon) kepadamu akan kuberikan berkat talenta sebagai pemegang Pustaha Tumbaga Holing.  Namamu sekarang bukan lagi “Sumbaon” tapi “Raja si Sumbaon (Rajai Sumbaon)”; setiap orang harus bersembah sujud (hormat) kepadamu, karena kamu adalah sumber dari segala kerajaan. Kepadamu kuberikan kuasa untuk menentukan kekayaan (hamoraon); keturunan (hagabeon) dan kerajaan (hasangapon).

Selanjutnya; apabila ilmu dari kalian ingin dikuasai oleh keturunanmu, cara satu-satunya adalah bahwa keturunan kalian harus saling kawin, sehingga genetika mereka akan bercampur, demikian juga ilmu yang didapatkannya, artinya dengan perkawinan campur itu maka talenta yang kalian miliki akan menyatu.  Tinggal perhatikan saja dari gen mana yang lebih kuat. Begitulah caranya agar keturunanmu kelak tidak ada yang saling cemburu. Demikianlah tabir itu diberikan dan dibukakan Siraja Batak kepada kedua anaknya sebelum Ia meninggalkan mereka “agar keturunan mereka tidak saling iri. Namun dapat hidup makmur dan sejahtera”. 

Kalau ditilik dari Siraja Batak hingga ke turunannya Sibagot Nipohan bahwa mereka memberikan nama kepada turunannya yang semuanya mempunyai arti dan makna. Untuk hal ini, kalau ditarik garis lurus dari Siraja Batak hingga ke Tuan somanimbil, bahwa Tuan Somanimbil yang bermakna ia dan turunannya (Raja Marsundung) tidak boleh manimbil (menyimpang) dari aturan kehidupan yang telah digariskan. Dan apabila dilanggar maka akan ditentukan arahnya (sundungna), lihat saja kenyataan sekarang ini bahwa anak Raja Marsundung ahirnya terbagi dua yaitu parhorbo jolo dan parhorbo pudi. Pemberian nama ini (Somanimbil dan Marsundung) bukan asal diberikan tapi merupakan titah (goar namarlapatan) yang akan terjadi kelak. Untuk meniliknya, tulisan ini yang menjelaskan perihal terjadinya fakta tersebut;

A. LAGENDA RAJA SIMANJUNTAK (JOLO-PUDI = DEPAN-BELAKANG)
(Source ; diceritakan oleh Cyrus Jala Simanjuntak (1902-1975) dan Pdt.Ev. Saitun Roberth Hasiholan Simanjuntak (1946-2006)

Raja Marsundung (Simanjuntak), generasi ketujuh (7) dari Raja Batak, dan generasi pertama dari Marga Simanjuntak. (lihat diagram silsilah)Raja Marsundung mempunyai istri pertama yang bernama Taripar Laut boru Hasibuan. Dari isteri pertama ini Raja Marsundung mendapatkan satu orang anak yaitu Parsuratan Beberapa tahun setelah Taripar Laut boru Hasibuan meninggal, Raja Marsundung mengambil isteri dari negeri Sihotang (dekat Pangururan Samosir) yang bernama Sobosihon boru Sihotang. Dengan demikian sejak itu Si Parsuratan memiliki ibu tiri (panoroni). 

Dari isteri yang kedua ini lahirlah Mardaup, Sitombuk, Hutabulu dan dua orang anak perempuan. Salah satu dari dua anak perempuan Raja Marsundung kemudian kawin dengan marga Sirait.
Rupanya hubungan antara Parsuratan dan ibu tirinya Sobosihon boru Sihotang kurang harmonis. Hal ini dapat dimaklumi karena di orang Batak, antara anak tiri dengan ibu tirinya sering tidak ada kecocokan/ kerukunan. Karena kondisi yang tidak menyenangkan ini, Parsuratan meninggalkan kampung halamannya dan pergi ke kampung Tulangnya di Sigaol, desa Marga Hasibuan.

Menurut cerita orang-orang tua, Parsuratan cukup lama tinggal di Sigaol, bahkan sampai-sampai orang di sana mengira dia bermarga Hasibuan. Kemudian Parsuratan mengawini boru tulangnya yakni Boru Hasibuan. Beberapa lama kemudian Parsuratan mendengar berita bahwa bapaknya, Raja Marsundung telah meninggal dunia. Parsuratan kemudian kembali pulang ke kampung halamannya di Parsuratan, Paindoan Balige. Di Balige inilah kemudian Parsuratan menetap dan hidup berdekatan dengan ibu tirinya, Sobosihon boru Sihotang dan anak-anaknya yaitu Mardaup, Sitombuk dan Hutabulu serta dua orang anak perempuan.

Salah satu keturunan Raja Marsundung dari isterinya Sobosihon boru Sihotang, yaitu anak yang tertua (anak perempuan) sangat dekat dengan ibunya. Sebagai anak yang tertua, maka dialah yang selalu gigih membantu ibunya sementara adik-adiknya masih kecil-kecil.
Karena Parsuratan magodang (artinya besar) di kampung tulangnya, maka dia tidak memiliki hubungan yang dekat dengan bapaknya, sehingga setelah meninggal, tidak ada pesan dari Raja Marsundung kepada Parsuratan terutama mengenai harta yang ditinggalkan.
Parsuratan menganggap bahwa harta berupa kerbau yang dipungka Raja Marsundung dengan Taripar Laut boru Hasibuan. Disinilah malapetaka itu berawal (bonsir ni parbadaan i).

Selanjutnya karena kedua belah pihak yaitu Parsuratan dan Sobosihon boru Sihotang dan anak-anaknya, memiliki sawah masing-masing, kepemilikan kerbau menjadi sangat penting (untuk membajak sawah). Akhirnya timbullah emosi Parsuratan, yang berakibat meninggalnya putri sulung dari Sobosihon boru Sihotang. Meninggalnya putri tercinta inilah yang menjadi sebab dari pertikaian/ perselisihan antara Parsuratan (yang kemudian dikenal dengan Parhorbo Jolo) dengan Mardaup; Sitombuk; Hutabulu (yang kemudian dikenal dengan Parhorbo Pudi) yang berlangsung hingga saat ini.

Perselisihan ini sebenarnya sudah pernah dicoba untuk diselesaikan oleh saudara-saudara R. Marsundung. yaitu Siahaan dan Hutagaol, bahkan oleh keturunan Si Bagot Ni Pohan. Namun sampai saat ini belum terjadi penyelesaian.
Marga Simanjuntak adalah salah satu marga terbesar dikalangan suku batak hingga terkenal istilah Simanjuntak na solot di ri (Simanjuntak ri) yang artinya dimana ada rumput (ri), disitu ada Simanjuntak.

Awal Konflik
Sebutan ‘Parhorbo Jolo - Pudi ini merupakan sindiran masyarakat karena pembagian warisan yang aneh oleh Parsuratan terhadap ketiga adiknya. Sindiran tersebut muncul karena Parhorbo Jolo sebagai anak sulung tidak adil membagi harta warisan (sawah dan kerbau) sepeninggal ayahanda di Balige. Dan juga karena Parsuratan pernah hampir membunuh Simanjuntak Sitolu sada ina sewaktu Simanjuntak Sitolu sada ina masih bayi. Awalnya kejadiannya waktu itu Ketika Mardaup lahir Parsuratan hampir membunuhnya, namun gagal berkat antisipasi Ompu-nya Simanjuntak Sitolu sada ina yaitu Si Godang Ulu (Sihotang) maka Mardaup selamat.

Kisah itu diketahui Simanjuntak Sitolu sada ina setelah mereka dewasa, namun Simanjuntak Sitolu sada ina tetap tidak pernah menaruh dendam terhadap kakaknya atas pesan dari ibunda tercinta agar Simanjuntak Sitolu sada ina tetap menganggap Parsuratan sebagai pengganti ayah.

Raja Marsundung Simanjuntak adalah anak kedua dari pasangan Tuan Somanimbil dan istrinya Boru Limbong. Mereka mempunyai tiga anak, yaitu: Somba Debata Siahaan, menikah dengan Boru Lubis.
Raja Marsundung Simanjuntak, menikah dengan Boru Hasibuan lalu kemudian setelah Duda menikah dengan Sobosihon boru Sihotang. Tuan Marruji Hutagaol, menikah dengan Boru Pasaribu

Raja Marsundung Simanjuntak menikah dengan Boru Hasibuan lalu mereka menetap di Hutabulu (sekarang Parlumbanan). Mereka dikaruniai seorang putera bernama Parsuratan dan seorang puteri bernama Sipareme. Kehidupan mereka diberkati dengan banyak sekali ternak kerbau hingga orang sering menyebut Raja Marsundung dengan sebutan ‘Simanjuntak Parhorbo’.

Mautpun memisahkan dan Raja Marsundung menjadi Duda setengah umur.
Suatu saat dia sakit parah bahkan dia tak sanggup mengurus dirinya sendiri. Menurut adat Batak Toba yang layak mengurus dia hanya Boru Lubis yang adalah istri abangnya (akang boru). Kalau Boru Pasaribu yang adalah istri adiknya (anggi boru) pantang saling bicara dengan dia begitu juga menantunya (parumaen) tidak boleh berbicara dengan dia sebab begitu adatnya.

Sementara puterinya sendiri, Sipareme segan mengurusnya sampai perkara yang sangat sensitif. Kemudian Raja Marsundung pulih lalu Somba Debata Siahaan menganjurkan padanya agar dia menikah lagi supaya ada yang mengurusnya kelak apabila dia sakit. Hal ini tidak disetujui Parsuratan dan Tuan Marruji Hutagaol namun, karena fakta dan pengalaman pahitnya, Raja Marsundung setuju untuk menikah lagi.

Pada masa itu ada istilah kalau ingin mencari istri pengganti maka sebaiknya pergi menyeberangi danau Toba (versi asli: molo mangalului panoroni ba borhatma tu bariba ni tao Toba). Somba Debata Siahaan dan Raja Marsundung pun berangkat ke daerah Si Raja Oloan. Di sana ada seorang lelaki yang agak asing rupa fisiknya. Bentuk kepalanya besar dan dia dinamai Raja Si Godang Ulu Sihotang.

Keanehan ini juga tampak pada anak-anaknya sehingga terkadang mereka sering dikucilkan banyak orang sampai-sampai walaupun puterinya sendiri Sobosihon berumur banyak belum ada laki-laki yang mau melamarnya hingga Raja Marsundung melamarnya. Kedatangan Raja Marsundung melamar Sobosihon sangat menggembirakan hati Raja Si Godang Ulu walaupun yang melamar puterinya adalah seorang Duda yang sudah memiliki anak. Namun itu bukan persoalan baginya dan pernikahan secara adat sepenuh (adat na gok) dilakukan. Wali pengantin prianya adalah Somba Debata Siahaan. Sobosihon pun menjadi istri Raja Marsundung. Mereka bermukim di Parlumbanan (daerah ini merupakan persawahan).

Setelah tiba waktunya bagi Sobosihon untuk melahirkan, beberapa hari sebelumnya dia telah memberi kabar kepada ayahnya tentang keadaannya itu. Namun, perasaan sang calon ibu ini gelisah setelah mendapat mimpi; ketika Sobosihon akan mandi di Aek Na Bolon, setelah dia membuka bajunya tiba-tiba petir menyambar buah dadanya sebelah. Mimpi ini juga diberitahukan kepada Raja Si Godang Ulu. Setelah mendengar kabar dan mimpi puterinya itu dia menyuruh menantu perempuannya (parumaen) berangkat menemui puterinya di Parlumbanan Balige. Padahal menantunya ini baru lima hari selesai melahirkan bayi perempuan namun, karena taat kepada mertuanya dia tetap bersedia pergi disertai tugas dan pesan khusus dari Raja Si Godang Ulu.

Adapun tugas dan pesan itu;
Ø      Memberitahu Sobosihon bahwa akan ada bahaya yang mengancam bayinya setelah dia bersalin.
Ø     Apabila bayi yang lahir laki-laki maka bayi itu harus ditukarkan dengan bayi perempuan menantunya ini dan bayi laki-laki itu harus dipangku dan disusui oleh menantu Raja Si Godang Ulu ini sampai bahaya berlalu.
Ø      Kelak apabila kedua bayi itu sudah dewasa maka mereka sebagai berpariban telah dipertunangkan sejak lahir (dipa-orohon).

Kelahiran “Mardaup; Sitombuk; dan Hutabulu”
Sesampainya di Parlumbanan, menantu Raja Si Godang Ulu atau yang disebut ‘Nantulang Na Burju’ oleh Parhorbo Pudi ini, dia mendapati Sobosihon sedang bergumul dibantu dukun beranak (sibaso) untuk bersalin. Lalu kemudian lahirlah bayi laki-laki dan setelah dimandikan sang bayi langsung ditukarkan sesuai pesan tadi.
Diadakanlah acara makan bersama (pangharoanion) untuk syukuran kelahiran bayi itu. Seluruh penduduk kampung diundang. Mendengar kabar bahwa adik tirinya adalah laki-laki maka Parsuratan menjadi benci dan ingin membunuh adiknya itu sebab menurutnya kelak akan ada pewaris harta ayahnya selain dia.

Parsuratan pun datang ke acara itu dan dia membawa pisau penyadap pohon enau di dalam sarung yang terselip di pinggangnya. Kehadirannya membuat semua orang terharu sebab selama ini dia memusihi ibu tirinya, namun di saat kegembiraan dirasakan dan dirayakan ibu tirinya dia turut hadir di sana. itulah penilaian orang kebanyakan. Padahal Parsuratan hendak memanfaatkan momen ini untuk membunuh adik tirinya. Lalu dia meminta supaya dia boleh memangku adiknya yang baru lahir itu. Dan bayi yang telah bertukar tadi pun dipangkunya sampai bayi itu basah atau kencing. Parsuratan ingin mengganti kain popok adiknya.

Inilah kesempatan bagi Parsuratan. Ketika mengganti kain popok adiknya maka dia berencana untuk menyelipkan pisau ketika kain itu dipakaikan. Dia pun meminta kain pengganti itu pada Sobosihon. Namun Sobosihon takut kalau-kalau Parsuratan tahu bahwa bayi yang dipangkunya bukanlah adiknya. Dia mengatakan pada Parsuratan supaya biarlah ibu yang mengganti kainnya. Akan tetapi karena Parsuratan tetap berkeras untuk mengganti kain adiknya maka orang banyak pun menyuruh Sobosihon agar menurutinya.

Saat membuka kain basah bayi yang dipangkunya Parsuratan terperanjat karena bayi yang dilihatnya bukanlah bayi laki-laki. Merasa niatnya sudah terbaca maka geramlah hatinya dan dia berdiri lalu melangkahi bayi itu dan berjalan menghampiri Sobosihon dan berkata; “Orang mengatakan bahwa yang lahir adalah adikku laki-laki tetapi engkau telah menipuku dengan memberi anak perempuan orang lain untuk aku pangku, inilah bagianmu” Parsuratan menghujamkan pisau tepat di dada dan memotong buah dada Sobosihon lalu setelah itu lari meninggalkan acara yang dalam keadaan kacau.

Parsuratan tidak berhasil menemukan dan membunuh adiknya tetapi buah dada Sobosihon ibu tirinya telah menjadi tumbalnya (daupna) maka bayi laki-laki itu diberi nama Mardaup. Demikianlah Mardaup diselamatkan ‘Nantulang Na Burju’ yang rela menyeberangi danau Toba demi menyampaikan pesan Raja Si Godang Ulu. Itulah sebabnya sampai sekarang semua keturunan Simanjuntak dari Sobosihon sangat menghormati keturunan dari Si Godang Ulu yaitu marga Sihotang.

Sobosihon melahirkan bayi perempuan. Kabar ini terdengar ke seluruh penduduk daerah Si Bagot Ni Pohan. Namun hal ini tidak meresahkan hati Parsuratan sebab dalam tradisi Batak anak perempuan tidak berhak dalam pembagian warisan. Jadi kelahiran adik tiri yang perempuan ini turut menggembirakan Parsuratan. Sang bayi diberi nama Si Boru Hagohan Naindo. Selang beberapa tahun kemudian Sobosihon melahirkan lagi.

Begini ceritanya sehingga sang bayi diberi nama Sitombuk. Tak henti-hentinya Parsuratan mengamati kehidupan ibu tirinya yang dia anggap bisa mengurangi jatah harta warisan untuknya kelak. Dia bertanya kepada orang pintar apa jenis kelamin bayi yang akan dilahirkan ibunya. Setelah mengetahui bahwa bayi laki-laki jawabannya, dia berusaha merancang kecelakaan agar bayi itu tidak bernyawa saat dilahirkan.

Saat ayah dan ibunya tidak berada di rumah, dia bekerja keras untuk memotong kayu penghalang papan yang ada tepat di sekeliling tiang tengah rumah (tiang siraraisan) dimana setiap ibu rumah tangga yang hendak bersalin akan menyandarkan badannya di tiang itu dan kain pegangan yang dipakai untuk bersalin juga digantungkan di situ. Adapun maksud Parsuratan supaya ketika ibunya bersalin kayu penghalang papan itu rubuh ketika diduduki setelah itu sang bayi akan celaka terhimpit.

Apa yang terjadi? Ternyata kayu itu patah sebelum sang bayi lahir dan tembuslah lantai rumah itu. Karena kaget setelah tergeletak di kolong rumah, seketika itu melahirkanlah Sobosihon dan bayinya selamat. Bayi itu diberi nama Sitombuk. Tombus dalam bahasa Indonesia ‘tembus’. Papan lantai rumah telah tembus dan kejadian itu pulalah yang membuat bayi dilahirkan selamat walau tanpa bantuan dukun beranak.

Beberapa tahun berikutnya dengan bantuan dukun beranak lahirlah bayi perempuan yang kedua bagi Sobosihon lalu oleh Raja Marsundung bayi itu diberi nama Si Boru Naompon. Sebelum proses persalinan Parsuratan telah mengetahui dari orang pintar bahwa adiknya adalah perempuan. Hal ini tidak menjadi masalah baginya walau ketamakan akan harta warisan masih memenuhi hati dan pikirannya saat itu.

Rupanya kali ini Parsuratan pergi lagi bertanya kepada orang pintar perihal jenis kelamin adik tirinya yang akan lahir. Jawaban dan pemberitahuan yang diterimanya bahwa adiknya adalah laki-laki. Dia teringat akan permintaan orang Batak perihal rumah; “Jabu sibaganding tua, ima hatubuan ni anak dohot boru si boan tua”. Artinya “Rumah tempat berbagai macam tuah adalah tempat lahirnya putera dan puteri pembawa tuah”.

Kali ini Parsuratan ingin memusnahkan rumah tempat tinggal ayahnya dan ibu tirinya. Dia sendiri telah mempunyai rumah setelah menikah dan pisah rumah dari orang tuanya (manjae). Dia hanya mempunyai seorang anak laki-laki dan dia merasa posisinya kelak terancam jika semakin banyak anak laki-laki yang dilahirkan ibu tirinya. Inilah yang membuat dirinya selalu ingin berbuat sesuatu untuk melenyapkan setiap bayi laki-laki dari ibu tirinya.

Waktunya tiba dan Sobosihon akan melahirkan bayinya. Para ibu bersama dukun beranak telah berkumpul dan memasuki rumah Raja Marsundung. Dari kejauhan Parsuratan mengamat-amati mereka. Setelah melihat mereka telah masuk ke rumah maka Parsuratan membawa sulutan api. Dia membakar atap rumah dari bagian dapur. Api menyala dan semua ornag berhamburan keluar rumah termasuk Sobosihon. Dia panik sambil berteriak api..api..api..api.. Dia pun berpegangan pada batang bambu yang berada di pinggir pekarangan rumahnya.

Tidak lama kemudian, orang-orang berdatangan ke sana dan berusaha bergotong-royong memadamkan api. Perhatian orang teruju pada rumah yang mulai terbakar dan pada saat itu pula di bawah pohon bambu lahirlah anak kelima dari Sobosihon yang kemudian diberi nama Hutabulu karena bayi itu dilahirkan di bawah pohon bambu di kampungnya.

Walaupun selalu mendapat rintangan namun Sobosihon tetap tabah dalam setiap proses persalinannya karena Raja Marsundung dan keluarga Somba Debata Siahaan terutama Boru Lubis sangat memperhatikan dan mengasihinya.
Usia Raja Marsundung kira-kira telah lebih delapan puluh tahun lalu dia meninggal dunia. Kepergian suaminya sangat membuat hati Sobosihon sedih sementara anak bungsu mereka masih menyusui dan keempat anaknya yang lain masih belum cukup dewasa.

Bagi suku Batak Toba anak tertua adalah pengganti ayah bagi adik-adiknya. Yang paling kehilangan sosok ayah hanya anak tertua. Parsuratan menggantikan kedudukan ayahnya dalam segala hal penting dia menjadi kepala keluarga. Situasi ini dimanfaatkan Parsuratan untuk menguasai semua aspek kehidupan ibu tiri dan adik-adiknya sehari-hari. Dia selalu bersikap diktator terhadap adiknya terutama yang laki-laki. Namun Sobosihon selalu mengingatkan anak-anaknya agar mereka selalu menghormati abang tirinya yang adalah pengganti ayah.

Darah Manusia Untuk "Rumah Ukir Darah" (Ruma Gorga=Jabu Parsaktian)
Setelah beberapa tahun ayahnya meninggal Parsuratan memanfaatkan tenaga adik-adiknya untuk mengusahakan semua kebun dan sawah peninggalan mendiang ayahnya dan dikelola seefektif mungkin. Perekonomian Parsuratan pun meningkat. Dia kemudian membangun Rumah Ukir (ruma gorga=jabu parsaktian). Setelah bangunan induk selesai maka proses berikutnya dalam pembangunan rumah ukir tersebut adalah pembuatan ukiran.

Untuk mengukir relif rumah pada masa itu lazim digunakan darah manusia sebagai campuran pewarna relif. Hal tersebut agar rumah itu mempunyai semangat atau ada keangkerannya. Mengingat Parsuratan bukanlah seorang yang kuat dalam berperang maka tidak mungkin baginya mendapatkan darah manusia dengan cara berperang melawan negeri lain.

Timbullah niat jahat Parsuratan terhadap saudara tirinya. Pada suatu sore dia meliahat kedua adik perempuannya tampak akrab sebab memang Sipareme sudah gadis dan Hagohan Naindo mulai remaja. Parsuratan ingin membunuh adik tirinya untuk diambil darahnya sebagai campuran pewarna rumah ukirnya. Kedua adik perempuannnya ini sering sama-sama tidur dengan Sobosihon ibu mereka.

Hampir setiap malam keduanya menganyam tikar (mangaletek) dan bila sudah larut mereka tidur tanpa menyalakan lampu. Sedangkan untuk menghindari gigitan nyamuk mereka menutup badannya dengan tikar (marbulusan). Kebiasaan tidur marbulusan ini sampai sekarang masih dapat kita jumpai di beberapa daerah di Tapanuli Utara. Demikianlah tiap malam cara kedua gadis ini menghabiskan waktu.

Tentang rencana jahat Parsuratan, untuk membedakan yang mana yang harus dibunuh maka kepada Sipareme diberikan sebuah gelang yang terbuat dari gading. Konon gelang itu merupakan pusaka pemberian dari mendiang Boru Hasibuan, ibu kandungnya Parsuratan. Lalu Sipareme pun memakai gelang itu. Melihat gelang yang sangat putih dan menyala dalam gelap, Hagohan Naindo tertarik akan gelang itu. Dia meminjam dan kemudian memakainya. Seperti biasanya mereka menganyam tikar setelah malam tiba mereka tidur marbulusan dan gelang tadi masih di tangan Hagohan Naindo.

Malam itu menjelang subuh datanglah pembunuh bayaran ke rumah Parsuratan dengan membawa pisau. Parsuratan berpesan pada pembunuh itu bahwa sekarang ada dua gadis yang tidur di rumah ayahnya dan gadis yang tidak memakai gelanglah yang harus dibunuh. Pembunuh itupun melaksanakan tugasnya kemudian Sipareme dibunuh lalu darahnya ditampung dan diberikan kepada Parsuratan. Sementara mayat Sipareme dibuang ke lembah yang tak dapat dituruni yaitu yang sekarang terletak di lembah Sipintu-Pintu (perbatasan antara Balige dengan Siborong Borong).

Matahahari pun terbit dengan air mata dan tangisan Hagohan Naindo karena kakaknya telah hilang.
Demikianlah rencana jahat Parsuratan dimana dia hendak membunuh Hagohan Naindo tetapi yang terbunuh adalah Sipareme yaitu adik kandungnya satu-satunya.
Melihat tindak-tanduk anak tirinya Sobosihon selalu bersusah hati, apalagi setelah Sipareme diketahui dibunuh dan darahnya dijadikan campuran pewarna ukiran rumah Parsuratan. Hal ini membuat Sobosihon jatuh sakit hingga penyakitnya parah. Saat penyakitnya semakin memburuk, dia dikelilingi kelima anaknya, sedang Parsuratan seperti biasanya pergi ke sawah.

Pesan Sibosihon Boru Sihotang.
Saat itu Sobosihon berpesan :
Jangan lupakan apa yang telah dilakukan oleh abangmu Parsuratan akan tetapi, jangan balaskan perbuatan jahatnya karena hanya Mula Jadi Na Bolon (Tuhan) sajalah yang akan membalaskannya. Ingatlah akan hal ini;

Ø      Parsuratan itu adalah abangmu sebagai ganti ayah bagimu, dimana dia duduk janganlah kamu menghampiri dan jika kamu sedang duduk di suatu tempat kalau dia datang tinggalkanlah dia, karena dia adalah ganti ayah bagimu yang harus kamu hormati.

Ø     Jangan kamu menyusahkan hatinya walaupun dia menyusahkan kamu, bila kamu sedang menyalakan api di dapur rumahmu atau dimana saja lalu asapnya terhembus angin ke rumahnya atau ke arah di mana abangmu berada padamkanlah apimu itu supaya dia tidak mengeluarkan air mata karena asap apimu walaupun kamu harus terlambat menyiapkan masakanmu.

Ø     Jangan bertengkar dengan abangmu, sebab itu apabila tanamanmu ada yang condong tumbuh mengarah ke pekarangan rumahnya seumpama tanaman pisangmu sedang tumbuh dan berjantung maka lebih baik tebang saja itu dari pada setelah buahnya ada lalu diambil oleh anaknya dan kamu tidak bisa menahan emosimu dan bertengkar.

Setelah menyampaikan pesannya Sobosihon menghembuskan nafas terkahir. Pesan inilah yang kemudian sampai saat ini terus mewarnai pola hidup dari keturunan Mardaup, Sitombuk dan Hutabulu dan pesan-pesan tersebut sangat dihargai dan dituruti oleh seluruh keturunan Simanjuntak Si Tolu Sada Ina.
Setelah beberapa tahun Sobosihon meninggal, keluarga Simanjuntak tiga bersaudara satu ibu ini dilanda kesedihan karena Si Boru Hagohan Naindo gadis yang rupawan ini meninggal dunia dengan cara yang menyedihkan.

Kematian Siboru Hagohan Naindo
Suatu hari pada musim panen Parsuratan telah menyabit sawahnya dan padinya telah dikumpulkan di sawah hanya tinggal menunggu dibersihkan dari batangnya saja. Cara membersihkannya dengan menginjak-injak batang padi yang ada bagian bulirnya (mardege). Untuk mardege biasanya dilakukan secara bergotong-royong bersama para tetangga di waktu subuh supaya ketika matahari terbit dan panas menyengat padi yang sudah dilepas dari jeraminya tinggal dijemur dan pada sore hari padi tinggal dibersihkan dari sekam dengan bantuan angin (mamurpur).

Pada pagi yang naas itu Parsuratan beserta beberapa orang berangkat ke sawah untuk mardege. Sebelum berangkat dia berpesan pada Si Boru Hagohan Naindo agar menyiapkan makan siang dan membawanya ke sawah. Makan pagi telah dibawa istri Parsuratan. Sebenarnya ini adalah rencana jahatnya terhadap adiknya. sebab sesungguhnya bekal makan pagi tidak jadi dibawa ke sawah. Menjelang siang semua orang yang bergotong-royong bekerja di sawah sudah bersungut-sungut karena rasa lapar dan mereka berkata; “Dimana adikmu yang akan membawakan makanan pagi ini, kenapa dia belum datang juga?”.

Sebelumnya Parsuratan mengatakan pada mereka bahwa dia sudah berpesan pada adiknya agar makan pagi dipersiapkan, namun sebenarnya tidak demikian. Sekira pukul sebelas atau menjelang teriknya panas matahari (mareak hos ni ari) datanglah Si Boru Hagohan Naindo dengan membawa makanan tetapi dia disambut dengan caci maki oleh semua orang.

Lalu Parsuratan mengambil hidangan yang dijunjung di atas kepala Si Boru Hagohan Naindo dan langsung mencampakkan air panas ke wajahnya. Si Boru Hagohan Naindo meraung-raung kesakitan wajahnya melepuh. Saat itu pula Parsuratan mengambil jerami dan menutupi badan Si Boru Hagohan Naindo lalu menyulut jerami itu dengan api sehingga Si Boru Hagohan Naindo terbakar hidup-hidup.

Demikianlah Si Boru Hagohan Naindo mati dalam rasa sakitnya yang tak terperikan. Setelah tak bernyawa dia ditanam tanpa sepengetahuan saudara-saudaranya. Namun, bagaimanapun setiap perbuatan busuk akan tercium juga baunya. Salah seorang yang mengetahui pembunuhan itu berpihak kepada keturunan Sobosihon dan menceritakannya pada mereka. Hal ini sering membuat puteri (boru) Simanjuntak yang mengetahui kisah ini merasa sakit hati terhadap Parhorbo Jolo hingga kini.

Kematian Si Boru Hagohan Naindo membuat Si Boru Naompon trauma untuk menjalani hidup tinggal di Balige. Dia sering menangis mengingat tragedi maut yang dialami kedua kakaknya. Dia meminta pada ketiga saudaranya agar dia diantar ke daerah Si Raja Oloan ke rumah Raja Si Godang Ulu Sihotang (Ompungnya). Hal ini membuat ketiga saudaranya terharu.

Muncul persoalan. Siapa yang akan memasak makanan dan mengurus rumah apabila Si Boru Naompon pergi? Hutabulu berkata pada abangnya; “Bukankah dulu abang Mardaup telah ditunangkan dengan paribannya sejak lahir?. Sekarang abang ambil saja dia menjadi pendamping abang secepatnya agar ada yang mengurus rumah dan memasak makanan untuk kita”. Perkataan ini membuka jalan pikiran ketiga saudaranya dan sekaligus membuka jalan bagi Si Boru Naompon untuk dapat tinggal di kampung Ompugnya. Lalu mereka berangkat ke sana.

Setelah Si Boru Naompon diantar kemudian ketiga bersaudara ini kembali ke Balige bersama pariban yang telah menjadi istri Mardaup, yaitu Boru Sihotang cucu Si Godang Ulu yang kemudian melahirkan tiga orang anak laki-laki:   
1. Na Mora Tano, kemudian menikah dengan Boru Sihotang.
2. Na Mora Sende, kemudian menikah dengan Boru Sihotang.
3. Tuan Si Badogil, kemudian menikah dengan Boru Siagian Pardosi.

Demikianlah kisah pertunangan antara Mardaup dengan paribannya yang sudah dipertunangkan dari lahir dan kemudian berakhir dengan pernikahan setelah mereka dewasa.
Suatu saat terdengar kabar bahwa di Laguboti ada seorang gadis cantik puteri dari Raja Aruan dan cucu dari Pangulu Ponggok. Gadis ini sangat pintar menyanyi dan merdu suaranya. Mendengar kabar itu Sitombuk yang pintar bermain seruling bambu dan menguasai hampir semua lagu yang populer pada zamannya, datang bertandang ke Laguboti.

Setibanya di sana dia kemudian meniup serulingnya. tanpa diketuk pintu rumah para gadis di Laguboti telah terbuka untuknya bahkan kadang-kadang mereka datang melihat permainan suling itu dari dekat. Pilihan si pemuda ganteng ini jatuh pada gadis tercantik dan yang pintar pula menyanyi. Setiap Sitombuk bertandang ke Laguboti, kehadirannya ini selalu menjadi acara hiburan bagi muda-mudi setempat.

Sitombuk menyampaikan maksudnya ingin mempersunting Boru Aruan pada amang tuanya yaitu Somba Debata Siahaan dan juga Mardaup abangnya. Sepeninggal mendiang Sobosihon, Parsuratan sudah tidak perduli lagi terhadap keturunan Sobosihon.
Akhirnya pesta adat sepenuh pun (adat na gok) diadakan untuk memperistri Boru Aruan. Dari pernikahan ini Sitombuk memperoleh seorang anak laki-laki bernama Raja Mangambit Tua.

Puteri dari Raja Marsundung yang hidup hanya Si Boru Naompon. Dia tinggal bersama ompungnya di Si Raja Oloan. Suatu kali pada musim panen Mardaup dan Sitombuk sepakat untuk mengutus Hutabulu berangkat ke rumah ompung mereka menjemput Si Boru Naompon menggunakan sampan kecil (solu pardengke).
Tugu Sobosihon boru Sihotang
Kemudian Hutabulu tiba di rumah ompungnya dengan selamat. Dia memberitahukan bahwa maksud dan tujuannya untuk menjemput Si Boru Naompon. Lalu Si Boru Naompon diberangkatkan oleh Tulang dan ompungnya dengan acara makan khusus disertai doa agar kiranya Si Boru Naompon segera menemukan jodoh (sirongkap ni tondi). Setelah itu berangkatlah mereka berdua menuju Balige.
                                                                                                                                               
Dalam perjalanan menggunakan sampan di danau Toba yang luas angin berhembus kencang. Hutabulu berusaha mengayuh dayungnya agar sampan bergerak menuju arah yang dikehendaki. Tiba-tiba dayungnya patah dan hanyut terbawa ombak. Dalam keadaan terombang-ambing sampan itu mengikuti arah angin dan untuk menenangkan keadaan Si Boru Naompon bernyanyi; “Ue..luahon ahu da parau, ulushon ahu da alogo manang tudiape taho, asalma tu topi tao”. Mendengar ada suara wanita bernyanyi, seorang pemuda yang sedang berada di tengah danau Toba dekat bagian pantai Marom langsung mengayuh sampannya menuju sumber suara itu.

Setelah mendekatkan sampannya dia melihat ada dua orang dalam sebuah sampan dan mereka tidak mempunyai dayung. Setelah mengetahui bahwa keduanya bersaudara maka pemuda itu (Na Mora Jobi Sirait) membawa mereka ke Marom dan beristirahat satu malam di sana. Keesokan harinya dengan dayung baru serta dipandu Na Mora Jobi Sirait, mereka bertolak dari Marom menuju Balige. Inilah pertemuan antara Si Boru Naompon dengan Na Mora Jobi Sirait dan dengan senang Na Mora Jobi Sirait mengantar sampai ke Balige.

Beberapa hari kemudian mereka berdua sepakat untuk menikah. Na Mora Jobi Sirait pun pulang dan memberitahukan hal itu pada orangtuanya yang sudah melihat kecantikan Si Boru Naompon. Dengan senang mereka setuju dan mendukung permintaan puteranya lalu berangkat melamar Si Boru Naompon.
Parsuratan sudah semakin tua dan jika hendak pergi kemana-mana dia enggan pergi sendirian. Kadang-kadang dia membawa anak tunggalnya kalau bepergian tetapi sering juga bersama adik tirinya yang masih lajang yaitu Hutabulu. Suatu saat Parsuratan pergi dan Hutabulu ikut serta sebagai pembawa kantongan (sitiop hajutna). Mereka berjalan mengikuti jalan setapak naik turun lembah.

Tipu Muslihat (Parsuratan) versus Akal (Hutabulu)
Ketika mereka berjalan didataran tinggi Silangit tiba-tiba Hutabulu melihat segumpal benda jatuh dari atas dan dikerjarnya ke depan lalu ditangkap menggunakan ulos hande-handenya kemudian dibungkusnya. Parsuratan melihat adiknya berlari dan berkata; “Adikku, benda apa yang tadi kamu tangkap?”. Sahut adiknya; “Abang yang kuhormati, aku belum tahu apa yang kutangkap dan bungkus ini, tetapi aku akan membukanya dan memberitahukan apa isi ulosku ini pada abang apabila kita sudah kembali ke kampung kita, asalkan abang berjanji akan membagikan harta peninggalan mendiang ayah kita”. Tanpa pikir panjang Parsuratan pun setuju.

Sebenanrnya Mardaup dan Sitombuk tidak pernah berani meminta bagian harta warisan pada abang mereka. Setelah kembali ke kampung Hutabulu menceritakan pada kedua abangnya tentang apa yang dia katakan pada abangnya dalam perjalanan dan juga tentang janji abangnya yang akan membagi harta warisan. Tibalah waktunya, tua-tua kampung diundang datang berkumpul menyaksikan pertemuan itu. Hutabulu menyatakan maksudnya pada kumpulan tua-tua itu (ria raja). “

Karena ada sesuatu yang jatuh dari atas dan kutampung lalu kubungkus dengan ulos hande-handeku dan ini terjadi dalam perjalanan aku dan abang yang kuhormati sewaktu di Silangit. Abang kami ini ingin mengetahui apa isi dari bungkusan ini yang aku sendiri juga belum tahu. Namun abang yang kuhormati ini telah berjanji akan memberikan bagian warisan peninggalan mendiang ayah kami apabila aku menunjukkan dan membagi benda yang akan kita lihat ini”. Perkataan tersebut dibenarkan oleh Parsuratan dan disaksikan oleh semua orang yang berkumpul di halaman rumah Raja Marsundung ayah mereka.

Maka dihadapan para tua-tua Hutabulu membuka bungkusan hande-handenya itu dan tampaklah abu bekas sarang burung yang terbakar didalamnya. Setelah Parsuratan melihat dia mengatakan bahwa bukannya dia tidak mau membagi warisan dan kemudian dia berkata; “Tunggu kalianlah dapat dulu dua bulan”. Lalu kumpulan pun bubar dengan kesimpulan bahwa setelah dapat waktunya dua bulan baru akan ada pembagian warisan.

Dua bulan kemudian Hutabulu mengumpulkan tua-tua kampung untuk melakukan ria raja. Di hadapan ria Parsuratan berkata pada adiknya; “Mana bulan yang sudah kamu dapat, sudahkah ada dua?”. Semua yang mendengarnya heran ternyata maksud dari ucapan Parsuratan pada ria raja sebelumnya bukanlah mengenai tenggang waktu dua bulan, tetapi tentang mendapatkan dua buah bulan. Maka ria raja berakhir dengan mengecewakan pihak tiga bersaudara seibu.

Dua minggu kemudian malam harinya ketika posisi bulan persis berada di atas di langit, pergilah Hutabulu ke sumur tempat dimana dulu mendiang ayahnya biasa mandi. Dia menatap ke permukaan air dalam sumur dan melihat bayangan bulan di situ. Segera dia bergegas menjumpai kedua abangnya dan mengatakan bahwa dia baru saja menemukan dua buah bulan. Dengan rasa was-was kedua abangnya dan Hutabulu kembali mengundang tua-tua kampung. Setelah semuanya hadir termasuk Parsuratan lalu Hutabulu berdiri dan berkata;

“Amang raja na liat na lalo, lumobi di ho angkang raja na malo, didokhon ho dung dapot dua bulan asa lehononmu parbagianan sian na pinungka ni amanta na hinan. On pe saonari ba nunga dapothu be alus ni hatami raja bolon. Betama hita tu parmualan paridian ni amnta an”. Artinya; “Bapak-bapak sekalian kumpulan yang terhormat, amat terlebih abang yang kuhormati, kamu berkata setelah dapat dua buah bulan barulah kamu memberikan warisan dari mendiang ayah kita dan kini aku sudah menemukannya. Marilah kita bersama-sama pergi ke sumur tempat madi ayah.

Seluruh yang hadir di situ berjalan menuju sumur. Setibanya di sana Hutabulu menunjuk ke permukaan air didalam sumur dan terlihat ada bayangan bulan di situ, kemudian dia menunjuk ke arah atas dimana juga terlihat ada bulan.
Akhirnya Parsuratan tidak dapat lagi mengelak dan dilakukanlah pembagian warisan setelah mereka kembali ke halaman rumah. Lalu kemudian Parsuratan berkata; “Sekarang di hadapan tua-tua aku akan membagi warisan peninggalan orang tua kita”. Beginilah pembagiannya:
1.     Mengenai sawah, karena aku adalah anak dari istri pertama ayah, maka tanah persawahan yang pertama dialiri air adalah milikku dan karena ibu kita dua orang, maka tanah akan dibagi dua luasnya.
2.     Mengenai semua kerbau milik mendiang ayah kita, karena aku adalah anak dari istri pertama ayah, maka paha depan (parJolo) setiap kerbau merupakan bagianku, sedangkan paha belakang adalah bagian kamu bertiga anak istri ayah yang kemudian (parpudi).

Pembagian warisan itu ditetapkan di hadapan tua-tua kampung dan tidak ada seorang pun yang berbicara menentang pembagian itu. Adapun lokasi sawah di kampung Parsuratan terletak di hulu sumber air (Aek Bolon) yang mengairi persawahan di daerah itu, sedangkan sawah di kampung Hutabulu berada di hilir. Mengenai pembagian warisan ternak, di kalangan masyarakat Batak Toba bila hendak membagi ternak berkaki empat, maka ternak itu dibagi dua dan selalu dibagi menjadi sebelah-sebelah (sambariba). Namun Parsuratan membagi dengan cara paha depan (parJolo=Jolo) dan paha belakang (parpudi=pudi).

Hal ini sangat aneh dan dibalik keanehan itu sebenarnya Parsuratan telah mengantisipasi ke depan supaya hanya dia yang selalu memanfaatkan tenaga kerbau untuk membajak sawah dan menarik pedati makanya dia membagi dengan cara yang demikian.
Jadi karna hanya satu-satunya peristiwa pembagian kerbau yang demikian anehnya, maka orang kebanyakan sejak saat itu mengejek dengan sebutan ‘Parhorbo Jolo’ terhadap Parsuratan dan keturunannya. Sedangkan kepada sitolu sada ina (ketiga bersaudara seibu), orang menyebut mereka dengan ‘Parhorbo Pudi’. *******

I.  KISAH KETURUNAN MARDAUP.
Source ; pembanding http://simanjuntak.or.id     
                                                                                                  
Source ; diceritakan oleh Djalaluddin Simanjuntak M.13. Tg.Morawa, Medan.

Mardaup memiliki dua orang anak yang kaya raya di jamannya (Namora Tano dan Namora Sende)., sementara anaknya yang ketiga Sibadogil diharapkannya untuk mengikuti kedua jejak abangnya. Akan tetapi kebalikannya ia terima. Sehingga setelah kematiannya Sibadogil memisahkan diri dari kedua abangnya.

1. Namora Tano, di jamannya dahulu kala, ia memiliki tanah yang sangat luas di sigumpar, bahkan karena luasnya tanahnya sehingga banyaklah orang mengerjakan tanahnya dengan sistim bagi hasil (mamola pinang) kepadanya. Bahkan penduduk diluar pinggiran sigumpar juga mamola pinang kepadanya, karena bukan hanya tanah sigumpar saja yang dikuasainya, tapi diluar sigumpar juga demikian. Demikianlah Ia digelari Namora Tano, karena luasnya tanah yang dimilikinya.

2. Namora Sende, bersamaan dengan itu pula, Ia mengikuti jejak langkah kesuksesan abangnya, tapi dengan versi yang berbeda, Ia memiliki beberapa kerbau, dan kerbaunya disewakannya ke orang lain untuk membajak sawah, disamping itu Ia juga melakukan pinjam-meminjamkan uang (pa-anakkon hepeng=sen), sehingga lama kelamaan sen=uangnya sangat banyak, dan untuk memanggil namanya agar lebih mudah digelarilah dia Namora Sende (sen=uang). Bahkan karena banyaknya uangnya, iapun menyimpanan uangnya di poti eme (lumbung padi).

3. Sibadogil, Adalah anak siampudan (bungsu)  dari Mardaup, Ia sangat dimanjakan bapaknya, sehingga ia tidak sepintar dan setangguh kedua abangnya. Ahirnya kerjanya hanya membuat onar (mandogili), baik terhadap keluarga maupun orang lain, sehingga digelarilah ia Sibadogil. Sepeninggal Mardaup adiknya Ia tidak mendapat porsi lagi dihati kedua abangnya, bahkan berbalik membencinya, sehingga ia pergi berpetualang ke sipahutar dan menetap lalu berketurunan disana hingga ahir hayatnya.
Akan tetapi sepeninggal Namora Tano dan Namora Sende, keturunannya tidak sehebat mereka, yang pada ahirnya tanah yang luas dan uang yang banyak menjadi ludes, akibatnya kehidupan merekapun berbalik kebawah, sehingga banyak generasinya eksodus ke sipahutar dan onan runggu.

II.  KISAH KETURUNAN SITOMBUK.
Source ; diceritakan oleh Martohap Simanjuntak.S.15, Asal Onan Runggu, domisili Cimahi, Bandung.
Anak Sitombuk ada tiga orang dukun (datu), datu dahulu kala ada dua pengertian ada datu pengobati dan ada pula datu penujum. Dalam hal ini datu dari anak Sitombuk bukan datu pengobati, tapi dia lebih dikenal dengan datu penujum  

1. Datu Pijor, dikenal orang, karena ia seorang datu yang mampu memadukan kemampuan kedua datu yang saling berseteru (mamijor=Pijor=Patri=menyambung dan memutus). Juga ia mampu merenggangkan orang-orang disekitarnya termasuk orang lain.

2. Datu Dolok, Ia mampu mengetahui (yang tidak diketahui dukun lain). Ia digelari datu dolok, karena kampungnya (hutana) didataran yang lebih tinggi (dolok). Dan untuk mempermudah pemanggilannya, lama kelamaan disebutlah ia Datu Dolok.

3. Tuan Guntar, Ia digelari  orang Tuan karena ia gemar belajar, dan pada saat itu para cerdik pandai digelari Tuan dalam bahasa melayu artinya yang berkemampuan, yang berkepintaran, yang diper-tuan. Tuan guntar memang gemar belajar.

4. Datu Silo, Penamaan Datu Silo, disamping ia sebagai datu, tapi perawakannya bercahaya (silo), sehingga ia digelari Datu Silo. Kemampuan Datu Pijor, Datu dolok dan Datu Silo tidak jauh berbeda, karena sumber ilmu mereka sama.  Datu di jaman dahulu merupakan ranking hidup yang sangat dicari orang, karena dengan dasar itu pula ia akan dikenal dan dihormati orang.

5. Pande Aek, Ia digelari Pande aek karena pekerjaannya sebagai penambak ikan sawah, sawah dan tambak ikannya tidak pernah kekurangan air karena ia ahli menampung dan mendistribusikannya sehingga ikannya gemuk-gemuk. Di jamannya orang hanya membuat jalan air dari selokan (bondar) biasa saja, yang sewaktu-waktu mudah rubuh karena diinjak binatang atau karena luapan air dsb. Tapi sebaliknya Ia mampu membuat saluran air dari; tandiang (sejenis pohon pakis) dan bagot (enau) yang tengahnya sudah dilubangi, lalu ditanamnya seperti pipa. Dan hampir tidak banyak orang tau darimana asalnya air ketambaknya. Sehingga Ia dinamai Pande Aek, karena kepandaiannya membuat saluran air ke tambak ikan dan sawahnya.

III.  KISAH KETURUNAN HUTABULU
(Source ; diceritakan oleh Cyrus Jala Simanjuntak (1902-1975) dan Pdt.Ev. Saitun Roberth Hasiholan Simanjuntak (1946-2006)
Adapun Hutabulu sejak remaja sering berkunjung ke daerah Si Raja Oloan ke rumah Ompungnya (Si Godang Ulu Sihotang) baik itu karna mengantar jemput itonya (Si Boru Naompon) maupun hanya sekedar bertandang ke sana.
Suatu ketika dia melihat seorang Boru Tulang yang sangat cantik dan boleh dikatakan gadis tercantik di seluruh daerah Si Raja Oloan. Kemudian karena Hutabulu memang seorang pemuda pintar (simak kisah bagaimana ketika dia menghadapi abang tirinya, dia selalu tampil piawai dalam pemikiran dan pembicaraan) dan hal ini terdengar sampai ke daerah Si Raja Oloan. Boru Tulangnya tadi sudah pernah berkunjung ke Balige, yaitu ke tempat amang borunya (ayahnya Hutabulu). Jadi merupakan pilihan yang tepat jika Hutabulu mempersunting paribannya itu menjadi istrinya.

1. Raja Odong
Suatu saat sewaktu suami istri Hutabulu dan Boru Sihotang duduk-duduk di depan rumahnya, melintaslah seorang yang buruk rupa dan Boru Sihotang menyeletuk; “Jelek sekali orang ini seperti beruk aku lihat” (versi Toba; “Roa nai jolma on songon bodat huida”). Perkataan itu kedengaran oleh orang tadi dan dia membalas; “Aku kamu bilang seperti beruk?. Biarlah lahir anakmu yang seperti beruk!” (versi Toba; “Ahu didok ho songon bodat? Ba sai tubuma anakmu na songon bodat!”). Pada saat itu Boru Sihotang sedang mengandung anak pertamanya dan perkataan orang tadi selalu mengiangiang di telinganya.

Pada waktu akan melahirkan Boru Sihotang Na Uli pernah bermimpi ada seorang tua datang padanya dan mengatakan bahwa yang akan lahir darinya adalah bayi laki-laki yang memiliki kesaktian sebab itu tidak perlu kuatir atau kecewa apabila nantinya ada yang agak berbeda pada tubuhnya. Mimpinya ini diberitahukan pada suaminya dan mereka berdua merasa was-was menantikan kelahiran anak pertama mereka.
Tibalah harinya, setelah bersalin diketahui bahwa sang bayi memiliki bentuk tulang punggung lebih panjang sekitar satu jari telunjuk dari bokongnya tampak seperti ekor yang pendek.

Dan saat itu Hutabulu melirik keluar jendela rumahnya, tampak ada seorang tua berdiri di halaman rumahnya dan berkata; “Hei bapak, jangan bersusah hati karena anakmu itu adalah seorang anak sakti” (versi Toba; “He amang, unang ho marsak alana anakmi nahasaktian”). Setelah berkata demikian orang itu berubah menjadi londok dan langsung memanjat pohon enau kemudian hilang di antara pelepah enau. Hutabulu spontan berteriak; “Raja Hodong..Raja Hodong....versi Toba; Raja Odong (“Raja Pelepah..Raja Pelepah..Raja Pelepah..”). Setelah peristiwa itu bayi pertama itu pun diberi nama Raja Odong. Secara fisik Raja Odong sangat tampan rupanya sebab ibunya cantik dan ayahnya tampan dan gagah.

Raja Odong makin bertambah besar dan pada waktu dia belajar duduk ayahnya membuatkan bangku pendek yang ditengahnya dilubangi tempat tulang Raja Odong yang seperti ekor itu. Tidak banyak orang yang mengetahui keanehan ini karena masa itu belum ada celana. Pakaian orang Batak adalah ulos yang dililitkan menutupi badan yang disebut heba-heba.

Setelah beberapa tahun kemudian istri Hutabulu kembali mengandung dan selama mengandung dia selalu memohon tuah agar Mula Jadi Na Bolon (Tuhan) memberikan seorang anak laki-laki lagi tetapi yang tidak mempunyai keanehan. Doanya pun terkabul dan lahirlah seorang anak laki-laki yang rupanya sama persis seperti abangnya. Bahkan setelah dewasa kedua anak Hutabulu ini sama besarnya dan banyak orang menyangka keduanya adalah saudara kembar.

Begitu lahir dan ternyata bayinya laki-laki maka dia diberi nama Tumonggo Tua (arti luas; Apa yang diminta pasti terkabul; ‘Mendapat tuah melalui doa’). Setelah kedua anak ini semakin dewasa mereka kelihatan tampan dan gagah melebihi ayah mereka. Banyak gadis yang tertarik dan jatuh cinta pada mereka. Tetapi apabila berkenalan lebih jauh dengan keduanya maka akan diketahui bahwa Raja Odong memiliki perbedaan dengan adiknya Tumonggo Tua.

Setelah sekian lama saling mencinta dengan Boru Sihotang paribannya, Tumonggo Tua ingin segera menikah. Namun orang tuanya menganjurkan kalau dia boleh menikah setelah abangnya menikah. Satu-satunya cara agar Tumonggo Tua dapat segera menikah adalah dengan mencarikan seorang calon istri bagi abangnya. Lalu berangkatlah Tumonggo Tua dengan sampan ke pulau Samosir. Di sana konon banyak gadis yang sampai berumur tua belum menikah karena ketatnya hukum bersaudara. Bagi kesatuan marga keturunan Naiambaton yang banyak bermukim di Samosir sampai sekarang masih tetap mempertahankan tradisi tidak boleh saling menikah antar sesama keturunan marga-marga Nai Ambaton.

Selama diatas sampan dalam perjalanannya Tumonggo Tua selalu memohon kepada Mula Jadi Na Bolon supaya dia bertemu dengan seorang gadis cantik untuk dilamar menjadi kakak ipar (angkang boru). Ketika berada di tengah danau Toba tiba-tiba angin bertiup kencang sekali (alogo halisuksung) dan menghantam sampannya hingga sampannya hancur. Dia mencoba sekuat tenaga berenang mencapai daratan dan berhasil. Setelah berada di tepi danau Toba dia tak sadarkan diri dan pingsan.

Ombak berdebur laksana irama musik yang menyambut kedatangan Tumonggo Tua di situ di daerah Lontung, yaitu di Muara (sekarang persis di tempat pemandian Puteri Raja Sianturi). Dia terbaring hingga sore hari dia ditemukan oleh Si Boru Uli Basa Boru Sianturi yang hendak mengambil kain cucian yang dijemur di tepi danau. Setelah melihat pemuda tampan itu Boru Uli Basa berkata;

“Kalau kamu memang manusia, siapakah namamu? Kalau kamu seorang yang memiliki kesaktian maafkan aku tidak bermaksud menggangumu, tetapi kalau kamu manusia aku mau mendampingimu seandainya kamu membawaku pergi bersamamu dan aku menjadi istrimu” (versi Toba; “Molo na jolma do ho paboa ise goarmu. Molo na martua-tua do ho unangma muruk ho tu ahu ala ndang na manggugai ho ahu, alai molo jolma do ho olo do ahu mandongani ho aut tung olo ho mamboan ahu tu hutam gabe inantam”).

Samar-samar perkataan itu didengar oleh Tumonggo Tua yang mulai siuman. Lalu dia mulai membuka matanya perlahan dan melihat ada seorang gadis cantik jelita di sebelahnya. Dia langsung mengucek matanya seakan tidak percaya akan apa yang dilihatnya kemudian dengan suara pelan dia berkata; “Apakah ini mimpi aku berada di sebelah puteri yang cantik. Sekiranya bukan mimpi apa gadis ini mau kalau aku membawanya menjadi menantu orang tuaku? (versi Toba; “Na marnipi do ahu nuaeng di lambung ni si boru na uli basa? Aut sura na so marnipi do ahu oloma nian boanonhu gabe parumaen ni damang dohot dainang”).

Mendengar ucapan itu Boru Uli Basa langsung memegang tangan Tumonggo Tua lalu membangunkan nya dan menuntun dia berjalan menuju rumah orang tua Boru Uli Basa sebab hari sudah sore. Sesampainya di rumah, keluarga Boru Uli Basa bergembira kedatangan tamu seorang pemuda yang tampan dan gagah. Dalam percakapan dengan orang tua Boru Uli Basa, Tumonggo Tua memperkenalkan diri dan menjelaskan bahwa dia adalah cucu Raja Marsundung Simanjuntak dan anak Hutabulu dari Balige. Dia juga menjelaskan bagaimana dia bisa ada di sana dan apa maksud dari perjalanan jauhnya itu.

Mendengar penjelasan itu Boru Uli Basa merasa gembira dalam hatinya dia terpikat akan ketampanan Tumonggo Tua. Setelah beberapa hari tinggal di daerah Lontung tejadi pembicaraan antara Tumonggo Tua dan Boru Uli Basa yang intinya tentang kesediaan Boru Uli Basa agar menjadi menantu bagi orang tua Tumonggo Tua. Jawaban dari Boru Uli Basa sangat jelas, yaitu dia mau dan bersedia. Akan tetapi sebaliknya apabila Tumonggo Tua mendapat pertanyaan yang sama dia tidak menjawab secara jelas bersedia namun dia menjawab pertanyaan itu dengan perkataan; “Tatap wajahku dan perhatikanlah langkahku serta ketahuilah maksud kedatanganku” (versi Toba; “Berengma bohiku jala parateatehonma pardalanhu huhut antusima sangkap ni haroroku”).

Boru Uli Basa memang calon menantu Hutabulu tetapi bukan untuk menjadi istri bagi Tumonggo Tua. Memang Raja Odong dan Tumonggo Tua sangat mirip seperti saudara kembar disegala-galanya baik dilihat dari rupa, cara berjalan bahkan juga cara berbicara dan dari suara semuanya sama. Sangat sulit membedakan keduanya kecuali ini; Raja Odong memiliki kelebihan tulang belakang sepanjang jari telunjuk. Perbedaan mereka ini dirahasiakan Tumonggo Tua demi harapan dia bisa direstui menikah setelah abangnya menikah.

Setelah berjanji bahwa mereka akan kembali bertemu, Tumonggo Tua pamit dengan keluarga Boru Uli Basa untuk pulang ke Balige dan nanti dia akan kembali datang bersama orang tuanya melamar Boru Uli Basa.
Setibanya di Balige Tumonggo Tua menceritakan perjalanannya kepada abang dan orang tuanya. Kemudian mereka menyusun rencana:
Ø  Tumonggo Tua dan orang tuanya segera melamar puteri Raja Silala Lasiak yaitu Boru Uli Basa dan selama mereka di sana sepanjang pembicaraan tidak boleh memanggil Tumonggo Tua dengan namanya tetapi dengan nama Simanjuntak.
Ø  Pesta pernikahan diadakan di rumah pihak pengantin wanita (dialap jual) dan yang mendampingi Boru Uli Basa dalam acara adat sepenuh itu (ulaon na gok) adalah Tumonggo Tua hingga dalam perjalanan di danau Toba sampai Balige. Bila sudah tiba di dermaga maka Tumonggo Tua turun dari perahu besar (solu bolon) dan mengikatkan tali perahu di dermaga. Bersamaan dengan itu Raja Odong sudah siap dan sesuai tanda Raja Odong langsung menggantikan posisi adiknya naik ke perahu untuk menuntun Boru Uli Basa dan seterusnya mendampinginya menjadi suami bagi Boru Uli Basa.
Ø  Pakaian yang dikenakan kedua abang beradik ini harus dibuat sama persis. Setelah mengikatkan tali perahu di dermaga maka Tumonggo Tua harus menghilang untuk sementara waktu dan pergi ke daerah Si Raja Oloan dan tinggal di sana di rumah Tulangnya sampai Boru Uli Basa melahirkan anak pertamanya bagi Raja Odong.

Setelah rencana itu disepakati maka ditentukanlah kapan mereka akan berangkat. Rencana pun dilaksanakan dan pesta pernikahan meriah di daerah Muara berlangsung mulus sesuai rencana. Setelah itu mereka bertolak pulang menuju Balige melalui danau Toba. Sesampainya di dermaga di Balige yaitu tepatnya di Lumban Bul Bul sekira jam tujuh malam dan keadaan seperti ini dalam bahasa Batak Toba disebut urngum (jarak pandang mata tidak lagi memungkinkan melihat orang di kejauhan).

Di dermaga Raja Odong telah menunggu kedatangan rombongan keluarganya bersama Boru Uli Basa. Setelah perahu besar itu tiba dan merapat ke dermaga, turunlah Tumonggo Tua untuk mengikatkan tali perahu lalu langsung pergi menghilang di kegelapan dan kemudian Raja Odong langsung naik ke perahu menjemput Boru Uli Basa serta berjalan berdampingan sampai ke rumah Hutabulu. Malam itu diadakan acara penyambutan (pangharoanion). Mulai saat itu Raja Odong yang mendampingi Boru Uli Basa, sedangkan adiknya sudah pergi sesuai rencana ke rumah Tulangnya.
Begitulah kisah pernikahan Raja Odong dengan Boru Uli Basa Boru Sianturi sehingga ada sindiran seperti ini:
Raja Odong papiu piu tali, tali ijuk sian bagot. Anggina manandangi, alai ibana diharoani jala mandapot”

Pekerjaan sehari-hari Raja Odong adalah memintal tali yang dibuat dari ijuk pohon enau. Konon pada masa itu, tali buatan Raja Odong ini paling baik kualitasnya dan harga jualnya tinggi di pasar Balige dan Laguboti bahkan sampai ke Porsea dan Siborong Borong. Raja Odong selalu duduk di bangku khusus yang berlubang di tengahnya dan kemanapun dia pergi bangku itu selalu dibawanya.

Sejak menikah dengan Raja Odong, Boru Uli Basa tidak pernah bekerja di sawah. Pekerjaannya adalah menggembalakan kambing. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan jika beranak sering sampai tiga atau empat sehingga keluarga Raja Odong memiliki banyak sekali ternak kambing.
Kemudian bayi pertama lahir bagi keluarga Raja Odong dan anak pertama mereka ini diberi nama Raja Bolak Hambing (Raja Parhambing). Demikianlah seterusnya mereka dikaruniai tujuh orang anak laki-laki:
1. Raja Bolak Hambing (Raja Parhambing)
2. Tuan Nahoda Raja
3. Maharia Raja (Mangorong Bahut)
4. Raja Marleang (Marleang Bosi)
5. Raja Manorhap (Raja Situnggal)
6. Raja Maega; Gelar Ompu Toga Oloan
7. Sitingkir Ulubalang; Gelar Partahi Oloan (Datu Malela)

Namun sampai sekarang baru keturunan Raja Parhambing dan Tuan Nahoda Raja saja yang sudah mengetahui bahwa mereka adalah keturunan dari Raja Odong.
Tentang Tumonggo Tua, setelah berita kelahiran anak pertama Raja Odong abangnya sampai kepadanya, betapa bahagianya dia dan paribannya. Lalu setelah mendengar kabar baik itu mereka berdua datang berkunjung ke Balige dan memastikan bahwa rombongan Hutabulu akan pergi melamar Boru Sihotang (pariban Tumonggo Tua tersebut).

2. Tumonggo Tua  
(Source : St. Sudin Simanjuntak, H.17,  S.Datu, Lobutua-Hutabulu, Tahun 1980 dan Kasmin Nelson Simanjuntak, H.15, S.Pati, Lobutua-Hutabulu, Th 1990).

Mendatangkan Hujan
Tumonggo tua adalah anak kedua dari Hutabulu, didalam kelahirannya dia dikaruniai keanehan “Na Tuk Marpangidoan” (segala yang diminta/dimohonkannya kepada Sang Pencipta akan dikabulkan), sehingga dia digelari orang disekitarnya Oppu Tumonggo Tua. Keanehan itu diketahui orang pada awalnya dikala suatu ketika terjadi musim kemarau yang berkepanjangan. Hampir semua orang telah bermigrasi ke arah Tebing Tinggi (Sumatera Timur), sawah sudah pada kering, tanaman ladang sudah pada mati, kebakaran pinus telah terjadi setiap saat, hamparan pakis (sampilpil) juga sudah pada terbakar, bahkan penduduk sudah mendekatkan huniannya di sekitar danau toba, agar dekat ke sumber air, akan tetapi air sudah makin dangkal (bercampur lumpur), binatang-binatang disekitar danau toba sudah saling berebut air, bahkan bangkai-bangkai binatang tergeletak di sana-sini (sekitar danau), sehingga sangat sulit bagi manusia untuk hidup disekitar danau.

Ahirnya disepakatilah untuk bermigrasi, karena sudah tidak ada harapan hidup lagi, persediaan makanan sudah makin menipis. Di malam hari ibu Tumonggo Tua berbincang dengan suaminya Hutabulu seraya berkata; Kalaupun kita berangkat besok migrasi ke Angkola, persediaan makanan kita tidak mencukupi, dan kita semua akan mati juga diperjalanan, sebaiknya kalian para lelaki saja dulu pergi ke sana untuk mengambil makanan dan pulang lagi kesini kata ibu Tumonggo Tua. Kebetulan pembicaraan itu didengar oleh Tumonggo Tua, maka Ia pun sedih, didalam hatinya hal itu benar adanya.

Tiba-Tiba Tumonggo Tua menyeletuk ke ibunya; Ibu sebelum ayah dan para lelaki dewasa pergi besok pagi, alangkah baiknyalah kita melakukan Ritual Doa Dulu kepada Mulajadi Nabolon (Tuhan), supaya mereka selamat diperjalanan dan tiba ke tujuan. Baiklah kata ibunyaTibalah besok paginya Tumonggo Tua pun mengambil salapa (piring besar), iapun lalu mengisi beras tiga genggam; selanjutnya disamping kanan beras di letakkannya daun sirih tujuh lembar;  disamping kiri beras diletakkannya buah pinang lima biji beserta daun pinang. Selanjutnya diletakkannya lagi  semangkuk Aek sitio-tio (air putih) di sebelah (samping) kanan salapa. Semuanya ditaruhnya diatas batu yang tinggi.

Setelah itu Ia berdoa dengan kedua tangan menengadah keatas dan memohon kepada Mulajadi Nabolon supaya hujan turun dan kehidupan berjalan normal sebagaimana sedia kala. Tidak lama setelah selesai Ia Martonggo, matahari redup tertutup oleh awan dibawa angin, gemuruh saling bersahutan, mendung tiba, sillam (petir) saling bersahutan. Tepat di sore hari hujan es (ambolas) datang, dan berlanjut ke hujan biasa, lamanya hingga sembilan hari. Orang-orang disitupun sangat bergembira, karena ikan-ikan, hewan binatang yang tadinya belum mati pada berkeluaran, sehingga kematian tidak terjadi karena sudah ada ikan-ikan dan binatang yang dapat dimakan. Berita kesaktian Tumonggo Tua dengan cepatnya menyebar ke setiap orang. 

Menyembuhkan penyakit kusta (aji si turtur) sekampung
Beberapa tahun kemudian terjadilah penyakit sampar Kusta (aji si turtur), banyaklah orang yang telah berpatahan jari-jari tangan dan kakinya. Saling tuduhpun terjadi antar sesama, bahwa ada pangarasun di kampung mereka. Kegaduhanpun terjadi selama beberapa tahun. Penyakit itupun dianggap penyakit kutukan karena saat itu medis belum berfungsi sebagaimana sekarang ini. Sudah tujuh kali panen (7 tahunkarena sekali panen padi hanya sekali setahun) penyakit itu berlangsung. Masyarakat sudah pasrah akan nasib mereka.
Suatu malam tiba-tiba ada seseorang berkata kepada temannya bahwa ia pernah menyaksikanakan perbuatan Tumonggo Tua dikala mendatangkan hujan, temannyapun menyambut pembicaraannya lalu mereka saling mengingat dan membenarkan hal itu.

Esok harinya datanglah beberapa orang mendatangi rumah Hutabulu seraya berkata; Bapak kalaulah kiranya diperkenankan kami untuk bermohon, agar penyakit kutukan ini hilang dari kampung ini, agar sudilah kiranya Tumonggo Tua bermohon kepada Mulajadi Nabolon supaya tidak terjadi lagi kesengsaraan di kampung ini. (Bhs Toba; Molo tung siat nian pangidoan, asa dibahen anak niba ma nian pangidoanna tu Mulajadi Nabolon, anggiat angka mara, sitaonon na adong di hutaon asa dipamago ma nian). Dengan rasa tersentak Hutabulu tidak menghendaki anaknya sebagai Datu (Dukun), dan menyatakan kepada mereka yang datang ke rumahnya; anak saya bukan dukun dan dia tidak mempunyai kemampuan untuk itu. (Adapun maksud Hutabulu karena Dia tidak mau anaknya di perolok-olok orang apabila tidak terjadi seperti harapan mereka)Dan istrinya Boru Sihotang juga berpendapat yang sama dengan perkataan suaminya.

Akan tetapi Tumonggo Tua langsung ada disamping orang tuanya dan berkata; Ayah-Ibu biarkanlah saya berbuat sebagaimana permintaan mereka, biarlah Mulajadi Nabolon nanti yang menentukanNya. Permintaan mereka tetap akan saya utarakan kepada Mulajadi Nabolon. Dengan rasa terharu dan tidak ingin mengecewakan khalayak ramai tapi ingin juga melihat keistimewaan anaknya, maka di Iyakan.
Esok harinya tepat pada matahari terbit; Tumonggo Tua mengambil perlengkapannya untuk bermohon.
Disiapkannyalah diatas pinggan pasu (salapa) beras; Kapur sirih tiga ibu jaridaun sirih tujuh lembar; air putih se mangkok (bokkor).

Lalu dipanjatkannyalah doa permintaan kepada Mulajadi Nabolon. Setelah selesai ia berdoa, atas petunjuk (ilham) yang datang kepadanya; ia lalu berkata; agar semua yang berpenyakit kusta (aji si turtur) harus mandi setiap hari, sampai penyakit lukanya sembuh ke mata air panas bumi yang mengandung belerang (aek rangat), yang kebetulan ada disitu. Selang beberapa bulan penyakit orang sekampung itupun sembuh dan nama Tumonggo Tua pun dikatakan orang “segala yang dimintakannya pasti terjadi (na tuk marpangidoan).

Mengusir setan (begu nurnur; nasiar-siaron)
Beberapa tahun kemudian terjadi lagi malapetaka besar, banyak orang kerasukan setan; kesurupan dan hantu bergentayangan di kampung dan ladang-ladang. Sehingga ketakuan satu sama lain terjadi lagi, banyak orang ketakutan (berjalan sendirian ditengah haripun menjadi masalah). Antara anak yang kerasukan setan dan orang tua sudah tidak harmonis lagi. Demikian juga orang tua yang kerasukan setan dengan anaknya. Saling curiga, saling tuduh, saling menyalahkan dan saling tudingpun terjadi sesama mereka. Ketenteraman hidup sudah sangat terganggu. Dan orang keladangpun ketakutan, karena sehabis dari ladang banyak orang kena begu ladang (kesurupan hantu).

Ahirnya banyaklah orang terganggu kehidupannya. Bagi orang yang kesurupan setan, kadang mereka berkeliaran tengah malam dan kadang sudah memakan kotorannya sendiri. Sehingga disepakatilah agar dipasung supaya tidak mengganggu yang normal. Banyaklah diantara mereka yang dipasung di ladang (sopo).
Suatu hari, merekapun mengingat perbuatan keajaiban Tumonggo Tua. Penduduk kampung itupun datang lagi bermohon kepada Tumonggo Tua agar dibebaskan dari mala petaka kali ini. Orang Tua Tumonggo Tua (Hutabulu) setuju akan hal itu. Esok harinya Tumonggo Tua melakukan Ritual Permohonannya kepada Mulajadi Nabolon dengan mengambil sambong (baskom besar) lalu diisi air; disamping kiri air itu diletakkannya daun sipilit;  disamping kanan air itu diletakkannya daun oppu-oppuDengan kerendahan hati, lalu disampaikannya permohonannya ke Mulajadi Nabolon.

Setelah permohonannya disampaikanNya, maka ilhampun datang kepadanya dengan menghempaskan sipilit dan oppu-oppu yang telah dicelupkan ke air (tawar) itu kepada pada orang yang tarbeang (dipasung) dan menyatakan; “Mulak maho tu namarsuru ho”, lalu orang yang kerasukan itu meraung-raung kesakitan dan menangis, dan memohon ampun agar jangan disiksa, karena tawar dan sipilit+oppu-oppu tadi dicambukkan ke seluruh tubuh yang kerasukan. Tidak lama setelah itu, sembuhlah yang kerasukan tadi, dan pasungnyapun dibuka.
Demikianlah dilakukan Tumonggo Tua kepada semua yang kerasukan setan  dikampung itu.

Setelah semua yang terpasung dan yang kerasukan setan disembuhkannya, Ia lalu mengusir begu-begu ladang (hantu ladang) lagi dengan memberikan darah sebaskom dan dipercikkan keseluruh ladang yang ada penghuninya. Adapun darah itu diciptakannya dari campuran sirih, kapur dan daun gambir yang telah diatup lalu ditumbuk hingga halus, lalu diperas kedalam air baskom hingga berwarna merah seperti darah manusia.

Esok harinya terdengarlah kabar bahwa di kampung lain, bersamaan dengan pengusiran setan tersebut oleh Tumonggo Tua, bahwa ada Dukun beserta istri dan anak tunggalnya meninggal dunia secara mengenaskan yaitu dililit ular besar diladang saat mencari kayu bakar.

A.  KISAH KETURUNAN TUMONGGO TUA
1.  Sibursok Ronggur
Source; diceritakan oleh Batu Tahan Simanjuntak H.13, S.Ronggur, Jl.Gembira Ujung, Jakarta SelatanTahun 1986).

Adalah cucu Hutabulu, anak pertama dari Tumonggo Tua. Suatau ketika ibunya sudah bulannya mau melahirkan, bersamaan dengan itupula bertepatan dimusim hujan, petir saling bersahutan sore harinya dengan suara menggelegar, Ibunya kaget  lalu merebahkan diri di lantai rumah, tidak lama setelah itu ia terlentang dan melahirkan anak lelaki. Setelah lahir dibuatlah namanya Sibursok Ronggur karena Ronggur (petir) sudah menghentaknya untuk lahir.

Akan tetapi setelah dewasa sifat-sifatnya juga bagai Ronggur, karena suaranya juga kebetulan sangat kuat (keras), bahkan pernah suatu ketika mereka (ia dan teman-temannya) ketemu macan, dengan suara kerasnya ia menghentak macan itu, macan itupun lari ketakutan, sehingga anekdotnya “alani gogoni soarana (ronggurna), babiat humbangpe lintum-marimpoti”. Keahliannya berburu, dengan cara mangultop (meniup selongsongan bambu panjang) sehingga ia sangat disayangi bapaknya, karena sering ia membawa burung hasil buruannya untuk dimakan ayahnya..

2. Sibursok Datu
Adalah cucu Hutabulu, anak Tumonggotua  yang kedua, Ia digelari Sibursok Datu karena dalam kehidupannya dia gemar melakukan pengobatan-pengobatan (hadatuon) dan uji tanding hadatuon kepada datu-datu lainnya dan kebanyakan dimenangkannya sehingga dinamakanlah dia Sibursok (Inti) Datu. Ia ahli dalam memindahkan angin dan mendatangkan hujan. Bahkan pernah suatu ketika kampung Huta Ginjang dan Buat Nangge, dekat lobutua/hutabulu (kecamatan siborong-borong) dibuatnya tidak kedatangan hujan, sementara di lobutua dibuatnya hujan, karena angin hujan dipanggilnya ke lobutua, sehingga huta ginjang dan buat nangge kekeringan selama setahun.

Dan kejadian yang sama juga pernah dilakukannya di Purba Sinomba, dengan kedatangan hujan secara terus menerus, sehingga marga Pasaribu dan Silitonga yang ada di Buat Nangge mengakui kemampuan kekuatan magis (hadatuon) Sibursok Datu, karena pada saat hujan di Purba Sinomba ada beberapa orang yang melihat bahwa Sibursok Datu ada disana, sehingga tersebarlah berita akan kemampuannya.

3. Sibursok Pati
Diceritakan oleh Kasmin Nelson Simanjuntak, H.15, S.Pati, Lobutua-Hutabulu, Th 1990.
Sibursok Pati  adalah cucu dari Hutabulu, anak ketiga (bungsu) dari Tumonggotua. Ia digelari Sibursok Pati karena ia seorang yang gemar marpati-patian (janji dan sumpah) terhadap orang lain. Ia seorang parpolung tubu (bijak bertutur kata), setiap kata-katanya akan menjadi ingatan dan panutan setiap orang.

Cerita pertama; Ibu Hamil
Suatu ketika ada seorang ibu dituduh berselingkuh dengan lelaki lain yang bukan suaminya. Maka si perempuan itu hendak dibuang ke sungai si-gulang(Binanga sigulang). Dahulu sungai itu sangat besar arus dan airnya. (Sungai itu dinamai binanga sigulang karena seorang ibu hamil hendak di gulang (di buang) kesitu.
Kebetulan pada saat itu Sibursok Pati melihatnya dan bertanya kepada halayak ramai disitu, dengan beraninya dia menyapa mereka; karena dia sudah mendengar ucapan mereka; gulang.... gulang.... gulangkon ma (buang....buang.....buangkan saja.....).
Apa sesungguhnya akar permasalahanya, mengapa kalian harus membuangnya ke sampuran ini ?.
Jawab salah sesorang Tetua Adat disitu; kampung ini telah dikotori oleh seorang wanita yang hamil dari yang bukan suaminya (lelaki lain).
Baiklah kata Sibursok Pati; bolehkah saya bertanya kepada wanita ini, sebelum kalian mengambil tindakan ?,  katanya kepada Tetua Adat itu.
Silahkan, lakukan saja, tutur Tetua Adat itu, yang diiyakan dengan serentak oleh masyarakat yang mengiringnya.

Lalu Sibursok Pati menanyakan satu hal kepada si ibu itu.
Inang; coba ceritakan kepada saya perihal yang sebenarnyabetulkah tuduhan mereka itu kepadamu ?.
Lalu si wanita itu bertutur dengan suara yang terisak bercampur kesedihan; Tuduhan mereka sangat pantas, karena saya juga tidak dapat membuktikan kepada mereka kenapa saya hamil, tapi permintaan saya sebelum saya dibuang ke sampuran, perkenankanlah saya menceritakan apa yang sesungguhnya yang saya alami; kami telah sepuluh tahun menikah, tapi tidak juga dikaruniai anak. Suami saya sudah dua tahun meninggalkan saya, dan saya tidak tahu kemana perginya, kedua mertua saya dengan waktu yang hampir bersamaan sudah tiga tahun meninggal dunia, suamiku adalah anak bungsu dari lima bersaudara.
Untuk menghidupi kehidupan saya; saya bekerja sebagai penjual nenas di setiap pasar pekan (onan ari selasa) di siborong-borong, dan hari jumat ke balige (onan balige)..

Suatau ketika di pasar pekan jumat (onan) Balige, saya termenung dan terduduk sembari meratapi nasib ditempat saya berjualan, pada hari itu dagangan (boniaga) saya sepi dan tidak laku, walaupun dibawa kerumah tetap akan busuk, sehingga saya berikan saja kepada orang yang lewat disitu. 
Dalam kesedihan saya itu saya berucap dalam hati saya ke Mulajadi Nabolon; Ue da ompung, tungna bohama bagianku namangoluon, so laklak so singkoru, so anak-soboru na adong hujambari; tungganidolikku pe sodianturehon be au, ia na mate nian asa binoto bangkena, ia na mangolu nanggo pola adong nian baritana. (Tuhan, mengapalah demikian nasib hidupku, sampai saat ini kami belum juga dikaruniai keturunan, suamikupun tidak memperdulikan aku (meninggalkanku), kalaulah ia mati dimana mayatnya, kalaulah ia hidup beritanyapun tidak ada).

Kesedihan itulah selalu menyelimuti hatiku  lima tahun sejak kami menikah karena tidak juga dikaruniai momongan. Suamiku pada dasarnya orang baik, dan tidak pernah menyakiti hatiku. Dalam pikiran saya; kepergiannya adalah untuk mengusir kesedihannya saja. Selama kami berumah tangga hidup kami bahagia dan tidak ada yang serius untuk dipermasalahkan dalam rumah tangga kami.
Bersamaan dengan kesedihan saya ituada suara datang ketelinga saya; pergilah ke pusuk buhit dan ambillah masing-masing seteguk air dari tujuh mata air itu, minumlah ditempat itu juga, lalu usapkan juga ke perutmu, dan bawalah sisanya pulang, lakukanlah itu berkali-kali, tapi sisakan sepertiga air itu, lalu gantungkan dikamarmu agar kandunganmu terbuka.

Empat bulan kemudian perut saya membuncit, saya pun diselimuti rasa takut, sehingga saya pergi ke saudara saya menanyakan kondisi perut saya. Hari berikutnya kami pergi ke dukun berobat, tapi dinyatakan tidak ada penyakit, tapi tutur dukun itu; bahwa dia dapat berbicara dengan apa yang ada diisi perut saya.
Kesimpulan dukun itu; saya berbadan dua.
Dengan rasa kurang percaya kami juga pergi ke sibaso (dukun beranak), jawaban sibaso itu bahwa saya hamil, dan mengandung.  
Sehingga saya divonis oleh keluarga, bahwa saya berjinah (mangalangkup) dengan lelaki lain. Esok harinya, saya diparaja (diserahkan ke raja tetua adat), dan kebetulan hari ini tuan datang dan menanyakan saya. Demikianlah penjelasan saya Tuan.

Saya pun sudah rela atas hukuman yang ditimpakan kepada saya, tapi kalaulah boleh saya minta, biarkanlah saya hidup (dibuang) ke hutan saja sampai anak ini lahir, setelah itu saya akan menyerahkan diri saya kepada kalian untuk dirajam atau dibuang ke sampuran.
Sontak seketika suara lelaki dari dalam perut si ibu itu berbicara dan mengatakan; Molo ias do parrohaon ni jolma, ndang adong na so tarpatupa Mulajadi, Molo sai mar-ingkon do hamuna songonna dirohamunai, ulahon hamuma. (kalau bersih hati manusia, tidak ada yang tidak mungkin dihadapaNya, tapi kalau kalian tetap pada pendirian kalian (membuang ibu ini), lakukan kalianlah.

Lalu Sibursok Pati angkat bicara; kita sudah mendengar penjelasan ibu ini dan anak yang dikandungnya.
Sekarang pertanyaan saya apakah kalian masih juga bersikeras untuk membuangnya ke sampuran ?. Kalau yaa; angkatlah tangan kalian keatas untuk menyatakan setuju. Marilah kita berjanji dan bersumpah. Barang siapa yang tidak percaya akan omongan (penjelasan yang sesungguhnya) ibu ini; biarlah Ia mendapatkan kesusahan dan tidak mendapatkan turunan (siraraon jala purpur). Tapi sebaliknya apabila ibu ini berbohong dan berkata palsu; biarlah ia mendapat kutukan yang seberat beratnya dari Mulajadi Nabolon(Marpati-patian ma hita; manang ise naso porsea di hatoranganni inantaon, naso jadi tataponna natama jala purpur, suang songoni nang tu inantaon, molo namargabus do ibana, asa ibanama na purpur).

Singkat cerita, walaupun telah dituturkan Sibursok Pati seperti itu, penduduk kampung itu tetap dengan pendiriannya  untuk membuang si ibu hamil itu ke Aek sigaung (sungai Sigaung)
Pada saat mau eksekusi; tiba-tiba suara gemuruh dan petir yang sangat kuat datang dan menyambar orang-orang yang ada disitu, sehingga badan, muka dan kepala mereka gosong terbakar, kecuali si ibu dan Sibursok Pati yang selamat dari sengatan petir.
Selanjutnya si ibu itu dilepas ikatannya oleh Sibursok Pati. Pergilah, tidak ada lagi yang mengusikmu, Mulajadi Nabolon (Tuhan) telah melepaskanmu, kata sibursok Pati, kepada si ibu itu. Dan si ibu itupun menurutinya, Iapun dapat hidup normal sebagai mana sedia kala hingga anaknya lahir. 
Demikianlah ia digelari Sibursok Pati, karena tutur katanya ; marpati-patian (bersumpah janji kebenaran);
Hodo na purpur, manang na isedo na purpur. Tole tabahen pati-pati-anna. Dos nangkokna dohot tuatna.
Terj; “kamu yang kena kutuk, atau siapa ?. Mari kita buat sumpah janjinya. 
Artinya; Apakah kamu yang benar atau sayakah yang benar.
Kalau kamu yang benar, berarti saya siap menanggung resikonya tujuh turunan, sebaliknya
Kalau kamu yang salah, kamu juga harus siap menerima kutukan (purpur) tujuh turunan.

Cerita kedua; Hal Tanah.
Suatu ketika ada pertengkaran disuatu kampung sibuntuon dekat onan runggu, marga silitonga versus marga simanjuntak. Silitonga mengatakan bahwa tanah itu telah mereka miliki sejak lama (oppu ni oppu, 3 hali ompu), ulos nasora busuk sian simatuana (simanjuntak).  Akan tetapi turunan ke empat dari marga simanjuntak tetap mengklaim bahwa tanah itu miliknya, karena apa yang dikatakan silitonga (borunya) itu tidak benar. Sehingga terjadilah perang antar marga sekampung. Mendengar hal itu mengadulah marga simanjuntak yang ada di sibuntuon ke marga simanjuntak yang ada onan runggu dan yang di lobutua/hutabulu.

Pada saat itu tersiarlah berita keseluruh marga simanjuntak, ahirnya berangkatlah Ia (Sibursok Pati) beserta kedua abangnya sibursok ronggur dan sibursok datu  menuju sibuntuon. Tepat di hari sabtu dibulan purnama, dibulan yang kesembilan, dilakukanlah kesepakatan agar selesai permasalahan dengan melakukan ritual janji-sumpah dari kedua belah pihak didepan raja-raja bius (raja-raja/tetua adat yang dihormati). Sebab kedua belah pihak yang bersengketa sangat susah didamaikan oleh marga-marga yang ada di kampung itu. Kedua belah pihak diminta oleh Tetua Adat untuk menceritakan kebenaran yang sesungguhnya tapi masing-masing pihak tetap mempertahankan kebenarannya masing-masing, sebab saksi hidup sudah tidak ada lagi.

Setelah semua dari masing pihak diminta pendapatnya,  lalu tibalah giliran Sibursok Pati yang berbicara;
apakah kalian tetap pada pendirian kalian, atau kalian tidak berfikir untuk merubah pendirian kalian perihal kebenaran yang kalian sengketakan ?.
Jawab mereka (pihak yang bersengketa) dengan yakinnya;
kami tetap pada pendirian kami, bahwa itu milik kami yang telah diberikan (ulos nasora busuk) mertua kakek moyang kami kepada kami, kata pihak silitonga.

Simanjuntak juga menyatakan bahwa kakek moyangnya tidak pernah memberikannya.
Baiklah kata Sibursok Pati; karena kalian tetap pada pendirian kalian, sekarangpun akan saya mintakan kepada Mulajadi Nabolon, agar kebenaran diperlihatkan.
Sudah siapkah kalian menerima efek yang buruk (purpur) dari pernyataan kalian itu ?. kata Sibursok Pati.
Kedua belah pihak menyatakan kami siap, berikanlah sangsinya, kata mereka serentak.
Apakah kalian tidak menyesal atas kekerasan hati (jogalni rungkung) kalian itu ?, tutur Sibursok Pati.
Tidak usah panjang lebar berbicara, sahut mereka lagi dengan suara lantang.

Baiklah kata Sibursok Pati; karena itu sekarang juga marpati-patian ma hamuna (berjanji sumpahlah kalian).
Barang siapa yang menyatakan itu miliknya, padahal sesungguhnya bukan miliknya, maka ia harus siap menerima mala petaka hidup tidak berketurunan (purpur)(Manang ise na namandok tanoi ugasanna, hape sasintongna dang ugasanna, siraraon ma jaloonna (ndang marpinompar=purpur). Demikianlah sumpah janji yang mereka sepakati didepan raja-raja dan tetua adat.

Dibulan itu juga dalam hitungan empatpuluh hari berlangsung, berjatuhanlah ternak (babi-sapi, kerbau) marga silitonga ke lombang parsingiran oleh suara auman macan yang tidak jelas darimana asalnya.
Untuk mengingat kejadian itu dinamai oranglah lokasi maut itu lombang parsingiran, karena marga silitonga harus membayar sumpah janjinya dengan kehilangan ternak dan turunannya.
Dan Sibursok Pati pun makin diakui orang kemampuannya untuk membuat sumpah janji (pati-patian) kepada setiap orang yang berbuat semaunya (pajolo gogo, paudi uhum).

Dan masih banyak lagi cerita lainnya perihal Sibursok Pati, akan tetapi cerita yang paling menonjol adalah kedua cerita diatas. 

B. KISAH KETURUNAN SIBURSOK PATI
1. Sitingkir Ulubalang, Gelar Partahi Oloan (Datu Malela)
Diceritakan oleh Kasmin Nelson Simanjuntak, H.15, S.Pati, Lobutua-Hutabulu, Th 1990.
(Pembanding ; St. Batu Tahan Simanjuntak Hutabulu No.13, S. Ronggur, Jl.Gembira Ujung, Jakarta Selatan).

Sitingkir Ulubalang adalah cucu dari Hutabulu, anak pertama Raja Sibursok Pati dari Ibu Boru Pakpahan. Sedangkan Keenam adiknya mulai dari nomor dua hingga ketujuh lahir dari ibu Boru sihotang.
Ia digelari Sitingkir Ulubalang (versi Humbang), karena ia mampu melihat apa yang ada dihati orang. Bahkan Raja sisingamangaraja x pernah mempercayainya menjadi hulubalang kerajaannya. Kesaktiannya telah teruji didalam menumpas musuh-musuh raja di Angkola dan sekitarnya (sekarang Tapsel). Ia bahkan mampu meramal kejadian yang akan terjadi dalam kerajaan.

Suatu ketika Ia dan Raja sm x sarapan pagi (manggadong), Ia mengungkapkan apa yang dilihatnya dalam visi penglihatan mata batinnya kepada Raja sisingamangaraja x. Tuanku Raja dalam penglihatan mata bathinku; ada dua kerjajaan saling berperang, singkat cerita; ada seorang raja dipenggal lehernya, dan yang memenggal itu, bisa dikatakan anaknya, bisa juga dikatakan ponakannya (anak dari adiknya yang perempuan). Tapi begitu dipenggal lehernya, kepalanya langsung terbang ke istana raja.
(Rajanami dipamerenganni partondianku; adong dua harajaon marporang, jempek hata dohonon; adongma sada raja digotap uluna, jala namanggotap i, boi dohonon anakna, boi do tong dohonon berena (anakni ibotona). Dung digotap ulu ni Raja i, pintor habang do ulunai tu inganan ni harajaonna), songonima rajanami partordingna

Namun Raja sisingamangaraja x tidak ambil pusing dengan perkataan hulu balangnya itu. Tapi beberapa hari berikutnya Raja sisingamangaraja x menceritakannya kepada istrinya.  40 hari setelah penglihatan Sitingkir Ulubalang itu, meledaklah perang antara kerajaan Raja sisingamangaraja x dengan kerajaan Minangkabau yang dipimpin oleh Iman Bonjol (Pongki Nangolngolan adalah anaknya dari hasil perkawinannya/marsubang dengan ibotonya). Dan benar adanya bahwa kepala Raja sisingamangaraja x dipenggal oleh Iman Bonjol. Badannya tetap ditempat, tapi kepalanya terbang ke rumah (istana)  Raja sisingamangaraja x.

Masa Kecil Hingga Dewasa
Nama Sitingkir Ulubalang adalah nama gelar (goar Tulut), nama yang dikenal orang. Ceritanya kenapa namanya menjadi Sitingkir Ulubang, Gelar Partahi Oloan (Datu Malela) adalah sbb;
Nama awalnya adalah Sitingkir.  Ia adalah anak Sibursok Pati. Ibunya Boru Pakpahan. Setelah tiga tahun kelahirannya Ibunya meninggal dunia. Sepeninggal Ibunya, Bapaknya Sibursok Pati berpetualang ke daerah Angkola, di angkola terjadi musim paceklik akibat musim kemarau yang berkepanjangan, sehingga Ia balik lagi ke Sianjur kampung halamannya. Pada saat kepergian ayahnya itulah Sitingkir tinggal dirumah Bapa Tuanya Sibursok Ronggur. Bapa Tuanya sangat senang juga karena sekian lama perkawinannya belum juga dikarunia anak.

Anehnya setelah dua kali panen padi (dua hali gotilon) istri Sibursok Ronggur mengandung, pada panen ketiga ia telah melahirkan anak. Akan tetapi kasih sayangnya kepada Sitingkir tidak memudar, bahkan Sibursok Ronggur menempatkannya sebagai anak sulungnya (Buhabaju).
Dalam lagenda Sibursok Ronggur dikatakan; Sitingkir anakki, anak buha bajuki, buhabaju ni anggiku,  sidodo lungunki. (Sitingkir adalah anakku,  anak sulungku, anak sulung adikku juga, yang dapat melihat, kesedihan hatiku).  Kondisi ini dapat dimaklumi karena sepeninggal ibunya Sitingkir, ia terkadang harus tinggal ke bapa tuanya dan kadang ke oppungnya.

Si Raja Odong menginginkan Sitingkir cucunya, karena Ia pandai berburu, dan sering hasil buruannya diberikannya ke oppungnya, bahkan Sitingkir lebih disayang Oppungnya dibanding anak biologisnya, sangking sayangnya Si Raja Odong menempatkannya sebagai anak siampudan (anak bontot) dalam silsilah mereka.  Hal itu terjadi setelah ayahnya kawin lagi dengan Boru Sihotang. Dalam perjalanan hidupnya tidak heran kalau Dia sangat disukai Ompungnya Si Raja Odong  dan Bapa Tuanya. Sehingga dalam silsilah, kalau Dia mengatakan dirinya sebagai si Raja Odong atau Sibursok Ronggur  atau Sibursok Patimemang itulah dia. Dan itu sudah Titah Sibursok Pati kepada anak-naknya yang enam orang dari ibu Boru Sihotang.

Setelah Ia dewasa, Ia telah banyak melakukan uji kemampuan hadatuon dan kekuatan fisik, dan dia mampu mengalahkan lawan-lawannya. Hal itu terjadi karena memang sudah bawaan lahirnya.

Gelar Partahi Oloan
Suatu ketika terjadilah perang kampung antara Kampung Pangumbanbosi dengan Kampung Sipahutar (Sekarang Kec.Sipahutar). Sitingkir dapat menerawang maksud dan tujuan mereka. Sitingkir pun melakukan saran agar tidak gegabah untuk lebih dulu menyerang mereka, sebab kampung sipahutar (marga sipahutar) sudah menyiapkan jebakan-jebakan ranjau di jalan dan diperbatasan kampungnya (parik ni huta), akan tetapi mereka (Pangumbanbosi) tidak percaya dan tetap pergi menyerang, ahirnya mereka banyak terjebak terjatuh ke lubang-lubang jebakan yang diatasnya dikamuflase kelihatan sebagaimana jalan aslinya.

Tahun berikutnya Sitingkir merencanakan strategi baru, agar kampung mereka tidak merasa dilecehkan lagi oleh kaum marga Sipahutar, akan tetapi orang-orang di kampung Pangumbanbosi sudah merasa trauma akan kejadian itu. Akan tetapi Sitingkir dengan kemauan kerasnya tetap harus membuat kampung sipahutar ditaklukkan, sebab mereka (pangumbanbosi) sudah sangat malu setelah kejadian tahun sebelumnya. Sehingga disuatu hari Sitingkir pun mengumpulkan pemuda dan orang tua paruh baya, mereka disuruh mengumpulkan sapi dan kerbau masing-masing, setelah terkumpul, ditengah malam diberangkatkanlah 50 kerbau dan sapi menuju kampung sipahutar.

Ssetelah dekat kampung sipahutar mereka menaruh cabai di mata sapi dan kerbau, lalu mengikatkan obor api yang besar di ekornya, selanjutnya sapi dipukul dan dilepas ke kampung. Sehingga sekeliling kampung dan kampung itupun terbakar. Melihat sekeliling mereka terbakar, Orang sekampung berhamburan keluar rumah. Sejak kejadian itu nama Sitingkir disebut-sebut orang (digelari) Partahi si-oloan, yang dalam pemanggilan singkat sehari-hari dikatakan “Partahi Oloan” (Pemikirannya harus dimaui). Karena kalau tidak dituruti perkataannya, maka mala petaka yang akan terjadi.
Berita kemampuan Sitingkir makin santer. Sehingga Sisingamangaraja x memanggilnya dan menjadikannya Hulubalang Raja. (Ulu Balang), namanyapun selanjutnya dipanggil orang menjadi Sitingkir Ulubalang.  

Gelar Datu Malela
Disuatu Desa, Ia beserta teman-temannya pergi bertandang ke Samosir persisnya ke Urat. Disana mereka dijamu para wanita-wanita sebaya mereka. Merekapun sepakat, agar mereka bisa lama tinggal disana, mereka harus membantu keluarga si gadis untuk membajak sawah.
Kurang lebih sebulan lamanya mereka disitu (borhat dibulan tula, mulak muse dibulan tula). 
Setelah seminggu disana, tepat dihari minggu, mereka duduk-duduk dan minum di kedai kopi (lapo), pada saat Sitingkir mau minum kopi, gelas yang dipegangnya langsung pecah, orang yang ada disitupun langsung tersentak, karena pada dasarnya pembuatnya ada disekitar situ. Iapun tidak meresponsnya, malah mengatakan kepada temannya; jolma namambaen on, Ima angka nahurang ulaon.  Sejak kejadian itu; Mulailah ia digelari oleh temanya Datu.

Tiga bulan berikutnya, mereka pergi lagi ke suatu Desa di Pangaribuan, untuk  bertandang (melihat wanita pujaan), seminggu lamanya mereka disana, berpindah tempat dari satu tempat ketempat lainnya. Tepat di kampung Tungka (yang dikenal dengan pasar pekan (onan Tungka), terjadilah adu kekuatan hadatuon, tapi Sitingkir belum mau menunjukkan kekuatan magisnya (hadatuon), akan tetapi temannya sudah memberinya semangat agar ikut tanding, tapi ia belum juga mau, sehingga temannya mengatakan dia Datu Maila-ila=Malela (slank ucapan).  Karena dia selalu malu kalau dikatakan Datu. Sebab dia berfikir; kalau-kalau nanti bisa saya lakukan, kalau tidak bisa tentu saya yang mendapat malu. Hal itulah yang selalu menghantui dirinya, sehingga ia selalu malu-mau (Maila-ila) menunjukkan kemampuannya.

Tapi kalau sudah terpaksa barulah dikeluarkannya kemampuannya. Setelah pembicaraan itu, bertepatan dengan temannya mau berdiri beranjak dari tempat duduknya,  dilihatnyalah tikar menempel ke pantat temannya, melihat hal itu Ia (sitingkir) merasa dipermalukan kemampuannya, dengan kemampuan kekuatan magisnya Ia pun menghardik pembuatnya agar linglung, setelah linglung, diarahkannya berjalan menuju kubangan kerbau,  selanjutnya dibuatnya terperosok jatuh tepat mukanya terjelembab ke kotoran tai kerbau.  Melihat kejadian itu sontak para Datu disana mengakuinya sebagai datu yang sakti. 

2. Pallupuk
Diceritakan oleh Kasmin Nelson Simanjuntak, H.15, S.Pati, Lobutua-Hutabulu, Th 1990.
Pallupuk=berdiam; ada; menguasai; membuat tanda.
Ia Adalah cucu Tumonggotua, anak kedua dari Sibursok Pati dari ibu boru sihotang, Ia digelari Pallupuk karena kemana ia pergi selalu meninggalkan tanda kebajikan. Ia adalah petarung yang sejati, Ia bahkan mampu menaklukkan siapa saja yang merintanginya. Sudah bawaan lahirnya bahwa Ia tidak akan pernah takut akan aji-ajian para dukun santet (datu pangaji/pangarasun) yang akan membuatnya celaka, bahkan ia mampu mendatangi tempat para dukun untuk menantangnya berduel fisik apabila diketahuinya datu itu telah berbuat kejahatan (padalan aji-ajian). Ia tidak bertentangan dengan para Datu yang berbuat kebaikan, akan tetapi musuh utamanya adalah para datu yang menyalahgunakan kemampuannya untuk merusak orang lain. Ia sangat ahli menolak bala (tolak bala), mengusir setan (palaohon begu), dan memindahkan setan (pabalihon begu) dari manusia ke kerbau dan satu tempat ketempat lainnya.

Kebijakan yang ia miliki;

Cerita Pertama; Sengketa Kerbau
Sudah menjadi kebiasaan atau tradisi di kampung Lobutua/Hutabulu, setelah selesai panen padi sawah (gotilon) bahwa seluruh ternak sapi, kerbau akan dilepas ke sawah. Dan para pemilik kerbau tidak tiap hari bersama ternaknya, ada yang sekali seminggu, sekali dua minggu, sekali tiga minggu, dan adapula yang sekali sebulan. Dan berdasar itu pula bahwa ada dua orang penggembala (pemilik kerbau) bermasalah. Dimana kedua belah pihak saling mengklaim, bahwa kerbau itu miliknya.

Anehnya masing-masing pihak dapat pula menunjukkan tanda yang mereka buat sebagai bukti kepemilikannya. Mengakibatkan persoalan itu ahirnya berkepanjangan, sehingga sampai kepada Tetua Adat kampung mereka masing-masing. Dan atas permintaan Tetua Adat kedua belah pihak ahirnya disepakatilah; bahwa yang mereka anggap mampu untuk menyelesaikan perkara mereka, adalah Pallupuk. Dihari yang ditentukan, didepan Tetua Adat konfrontir dan kebenaranpun dimulai.
Pallupuk bertanya kepada si Alosus; Adakah bukti yang bisa anda tunjukkan kepada kami disini bahwa kerbau itu milikmu ?.
Alosus menjawab; kerbau ini sejak lahir telah saya tandai dengan memotong ujung kupingnya yang sebelah kiri.
Pallupuk pun melihatnya dan benar adanya.
Pallupuk bertanya ; Dimanakah anda menggembalakannya selama ini ?.
Alosus menjawab; Di persawahan (hauma) aek bontar.

Selanjutnya; Pallupuk bertanya kepada si Patar; Anda mengklaim bahwa kerbau itu milikmu juga, Adakah bukti yang bisa membenarkan ucapanmu itu ?,
Patar menjawab; kerbau ini sejak kecil telah saya tandai dengan menandai pahanya sebelah kanan dengan besi bakar.
Pallupuk pun melihatnya dan benar adanya.
Pallupuk bertanya ; Dimanakah anda gembalakan selama ini ?.
Patar  menjawab; Di persawahan (hauma) danosorik.
Pallupuk bertanya kepada Alosus dan Patar ; Berapa jauhkan jarak antara kerbau kalian itu digembalakan ?
Mereka berdua menjawab; Kurang lebih 5 km.

Ok baiklah; karena kalian saling mempertahankan pendapat dan pendirian kalian masing-masing, untuk menyelesaikannya sekarang pun harus diambil kesepakatan, kata Pallupuk.
Pallupuk pun mengutarakan solusi untuk penyelesaian dan kebenarannya kepada mereka dan Tetua Adat disitu seraya berkata; Kita telah mendengar bersama akan kebenaran ucapan dan alasan mereka yang semuanya menunjukkan bukti-bukti dan fakta yang nyata, tapi dibalik itu masih tersimpan kebenaran yang hakiki, untuk itulah saya berkesimpulan; agar terkuak kebenaran yang sesungguhnya, maka saya akan memutuskan dengan persetujuan kalian para Tetua Adat disini.

Kita akan melepaskan kerbau ini; dan masing-masing pihak yang bersengketa akan mengumpulkan kerbaunya disekitar sini, apabila kerbau ini menuju kepada kawanannya, maka Pemilik yang sesungguhnya adalah yang dituju kerbau itu.
Tetua Adat dan masyarakat yang ada disitupun menyetujuinya.
Pallupuk lalu melepaskan kerbau itu, dan kerbau itu menuju kawanannya.
Si pencuri pun didenda harus membayar adat, dengan memotong babi (mam-babi i) sebagai hukuman atas perbuatannya.

Cerita Kedua ; Sengketa Kuda
Di suatu pasar pekan (onan) Dolok Sanggul, setiap mendekati ahir tahun dan pertengahan tahun yaitu pada saat orang tua mau menikahkan anak lelaki atau perempuannya (pangolihon anak manang pamulihon boru) akan dilakukan jual beli kuda. Tiba-tiba ada dua orang bertengkar yaitu marga sihombing dengan marga simamora. Mereka mengklaim kuda yang sama, sehingga cekcok mulut dan perkelahianpun terjadi. Melihat hal itu, masyarakat setempat yang melihatnya ahirnya merelainya, dan selanjutnya dibawalah ke Tetua Adat disitu, akan tetapi penyelesaian juga tidak kunjung selesai.

Didalam kebuntuan itu ahirnya ada seseorang angkat bicara; bahwa dia pernah mendengar nama Pallupuk mampu menyelesaikan perkara besar seperti ini. Dan ahirnya Tetua Adat disitupun menyetujuinya, dengan maksud agar Pasar (onan) mereka tetap terjaga nama baiknya.
Atas undangan tetua adat, dihari yang ditentukan, masing-masing pihak yang bersengketa pun di konfrontir didepan Tetua Adat dan masyarakat setempat.

Pallupuk bertanya kepada Simamora ; Adakah bukti yang bisa anda tunjukkan kepada kami disini bahwa kuda itu milikmu?
Simamora menjawab; kuda ini sejak lahir telah saya miliki, dan saya pelihara dengan baik.

Selanjutnya; Pallupuk bertanya kepada Sihombing; Anda mengklaim bahwa kuda ini milikmu juga, Apakah ada bukti yang bisa membenarkan ucapanmu itu ?,
Sihombing menjawab; kuda ini sejak lahir telah saya miliki, dan saya pelihara dengan baik, akan tetapi induk dan temannya telah saya jual tahun lalu untuk biaya hidup kami.

Ok baiklah; karena kalian saling mempertahankan pendapat dan pendirian kalian masing-masing, untuk menyelesaikannya sekarang pun harus diambil kesepakatan, kata Pallupuk.
Pallupukpun mengutarakan solusi untuk penyelesaian dan kebenarannya kepada mereka dan Tetua Adat disitu seraya berkata; Kita telah mendengar bersama akan kebenaran ucapan dan alasan mereka, agar terkuak kebenaran yang sesungguhnya maka saya berpendapat dan berkesimpulan, tentu atas persetujuan kalian dan para Tetua Adat disini.

Bahwa setiap penggembala pasti punya cara untuk memanggil ternaknya (kudanya). Kita akan melepaskan kuda ini ke suatu tempat. Apabila kuda ini dapat mengenali suara pemiliknya, maka dialah pemilik yang sesungguhnya.
Tetua Adat dan masyarakat yang ada disitupun menyetujuinya.
Pallupuk lalu melepaskan kuda itu ke suatu tempat, sipemilik yang sesungguhnyapun memanggilnya, dan kudanya datang.  Selanjutnya Tetua Adat menghukum si pencuri, dengan adat setempat.

Cerita ketiga ; Mengusir Setan
Dijaman dahulu kala, sebelum adanya agama datang, animisme penyembaan berhala adalah jalan pintas yang sering dilakukan orang, karena efek dan manfaatnya jelas dan instan secepat kita merasakan memakan cabai. Ritual persembahan-demi persembahan dilakukan orang hanya untuk mengejar hadatuon (baca; dukun aji-ajian atau santet), habeguon (baca; kekuatan magis) dan hamoraon sumbaon (baca; kekayaan dengan tumbal), hal itu dilakukan oleh masyarakat setempat karena efek instan yang didapatkannya dari apa yang dia sembah.

Akan tetapi efek terhadap yang melakoninya hanya sementara saja, dan akan selalu memakan korban dengan meminta tumbal sesuai dengan permintaan yang meminta.  Adalah yang anak lelaki dan perempuan kesayangannnya diambil oleh sumbaon; ada juga yang anak perempuan kesayangannya menjadi istri begu ganjang (setan); ada juga anak lelakinya setelah dewasa menjadi istri ular jadi-jadian (ulok sumbaon). Ciri ciri penyembah berhala itu sangat aneh dilihat oleh orang yang tidak melakoninya; dan mereka melihat keanehan seperti; anaknya cacat atau seperti beloon tapi hartanya banyak. Akan tetapi hal itu tidak akan bertahan lama apabila permintaan sumbaon (yang disembah) tidak dituruti. Selanjutnya akan berganti lagi kepada pemain baru yang melakukan ritual sumbaon lagi.

Anehnya  anak yang tidak melakonipun mulai di usik oleh setan, dan ketenangan penduduk yang tidak melakoninyapun mulai terganggu, sampar penyakit, kesurupan membantingkan dirinya dan memakan kotoran pun sudah mulai terjadi. Korbanpun sudah sangat banyak berjatuhan dari tahun ke tahun. Melihat hal itu bagi yang berfikiran akal sehat, mereka satu sama lain saling diskusi dan mencari solusi kepada datu bolon (dukun sakti), agar mampu mengusir atau memindahkan atau melenyapkan sumbaon itu dari kampung mereka.  Singkat cerita satu demi satu dukun dari kampung lain dipanggil untuk mengusir atau melenyapkan sumbaon tsb, akan tetapi dukun yang datang kalah kuat sehingga tetap saja tidak ada hasilnya.

Keputus asaanpun mulai menyelimuti penduduk disitu, hingga tiba pada titik puncaknya mereka menyerah dan tidak mampu lagi membiayai dukun pengusir setan.
Beberapa tahun kemudian kebetulan Pallupuk berkunjung ke situ karena ada keluarganya kawin dengan marga siagian, melihat keanehan penduduk disitu bahwa sudah banyak orang melakukan pesta ritual sumbaon (sinomba), Pallupuk pun menyelidikianya, dan kesimpulannya bahwa sumbaon itu memang ada dan kekuatan magisnya sangat kuat.  Didalam hatinya bahwa tidak ada yang lebih kuat dari Mulajadi Nabolon (TYME).

Bertepatan dimusim kemarau panjang Pallupuk membakar lokasi sumbaon (yang ditumbuhi pohon beringin dan Pohon Ara) yang sangat besar melingkar ditengah ujung perkampungan itu.  Melihat hal itu masyarakat pengikut sumbaon (penyembah) melarang Pallupuk, hingga terjadilah perkelahian, dan perkelahian itu dapat dimenagkan Pallupuk dengan Andalu sebagai senjatanya. Setelah semua lokasi sombaon itu terbakar, maka Pallupuk membuat lokasi itu sebagai kandang kerbau kerabat dan saudaranya, karena menurutnya hanya kerbau yang dapat membersihkan dan mengusir setan.
Sejak saat itu masyarakat tenang dan sombaon itupun tidak ada lagi, demikianlah ia dinamai Purbasinomba, karena dijaman dahulu ada dilokasi itu tempat penyembahan berhala.
Artinya (Purba=dahulu kala (na ujui); yang memiliki kemampuan (parroha sian purba); (Sinomba = yang disembah). Purbasinomba artinya Dahulukala disini adalah tempat orang menyembah berhala.  Demikianlah Pallupuk dikenal sebagai penakluk maut (sialo-begu).

Cerita ketiga ; Menentukan kepemilikan tanah
Disuatu kampung di sidikalang, ada tiga orang mengklaim tanah yang sama. Si Barutu menyatakan bahwa tanah itu adalah miliknya. Si Tanjung dan Si Topu juga mengatakan menyatakan hal yang sama. Ketiganya pernah mengusahakan tanah itu, dan ketiganya  juga pernah meninggalkannya. Ahirnya percekcokanpun terjadi hingga terjadi ke perkelahian apabila salah satu dari mereka hendak mengusahakan tanah itu. Alhasil mereka tidak bisa menggunakan tanah itu. Tibalah puncak perkelahian mereka, salah satu dari mereka terjadi saling bacok, mengakibatkan sampailah kepada tetua adat.

Kebetulan Pallupuk ada disitu (sedang bertandang)melihat keramaian orang berkumpul disitu, Ia memberanikan diri untuk menyelesaikan pertikaian mereka, dan sebahagian penduduk kampung situ memang sudah pernah mendengar perihal kebijakan Pallupuk untuk menyelesaikan perkara-perkara besar, akan tetapi wajah dan tampangnya belum mereka kenal.
Mendengar Pallupuk memperkenalkan diri, sontak tetua adat dan masyarakat disana menaruh harapan, agar masalah itu dapat diselesaikannya.

Pallupuk bertanya kepada si Barutu;
Adakah bukti yang bisa anda tunjukkan kepada kami disini bahwa tanah itu milikmu ?.
Jawab si Barutu; tanah itu sejak dahulu sayalah pemiliknya, buktinya pada saat saya kerjakan tidak ada yang keberatan.

Pallupuk bertanya kepada si Tanjung;
Adakah bukti yang bisa anda tunjukkan kepada kami disini bahwa tanah itu milikmu ?.
Jawab si Tanjung; 30 tahun lalu saya pernah sebagai petani jagung dan padi ladang terluas dikampung ini, dan hasilnya saya ambil dari tanah itu.

Pallupuk bertanya lagi kepada Sitopu;
Bagaimana dengan anda, Adakah bukti yang bisa anda tunjukkan kepada kami disini bahwa tanah itu milikmu ?.
Sitopu menjawab; Tuan-tuan saya juga pernah menanam jeruk dan kopi terluas dikampung ini, dan hasilnya juga pernah saya nikmati selama puluhan tahun, tapi nasib harus membuat saya tidak mengusahakan lagi tanah itu, akibat kena hama tanaman.

Ok baiklah; karena kalian saling mempertahankan pendapat dan pendirian kalian masing-masing, untuk menyelesaikannya sekarang pun harus diambil kesepakatan, kata Pallupuk.
Pallupuk pun berkata; Kita telah mendengar bersama akan ucapan dan alasan mereka, yang semuanya menunjukkan bukti-bukti dan fakta mereka, tapi dibalik itu masih tersimpan kebenaran yang hakiki.  Agar terkuak kebenaran yang sesungguhnya.
Ada petuah moyang kita dahulu mengatakan (podani sijolo-jolo tubu);

Sinuan bulu diparik ni huta, (ditanam bambu dibatas kampung; artinya pertanda batas kampung)
Sinuan sipilit diparbalokan, (ditanam sipilit dibatas lahan; artpertanda batas tanah kita dengan orang lain)
Sinuan pinasa dipoguni huta, (ditanam nagka ditengah kampung; artinya pertanda ada penduduk)
Nagabe tanda ni ugasan. (itulah semua pertanda dari kepemilikan)

Pertanyaan saya sekarang kepada kalian bertiga; adakah kalian pernah menanam itu semua ?
Jawab mereka bertiga; Tidak.
Baiklah, Apabila dari kalian Tidak,  maka pemiliknya adalah bukan kalian.
Beruntunglah kalian pemiliknya tidak pernah mengusik kalian, padahal hasilnya sudah kalian nikmati dan bahkan tidak pernah kalian tanyakan siapa pemilik yang sesungguhnya.

Masyarakat disitu beserta tetua adat, sangat kagum akan kepintaran Pallupuk meneyelesaiakan perkara besar yang sangat rumit itu. Pallupukpun sangat dihormati di daerah itu.

Penyebaran Turunan Pallupuk
Pallupuk adalah cicit dari Hutabulu. Generasi Pallupuk sangat sedikit kelihatan dikampung halamannya. Hal itu terjadi karena generasinya kebanyakan merantau dan berganti nama/marga menjadi Pohan. Hal itu terjadi karena situasi dan kondisi alam yang kurang bersahabat akibat dari adanya perubahan cuaca yang sangat ekstrim yaitu musim kemarau yang berkepanjangan (haleon potir), sehingga memaksanya untuk meninggalkan kampung halamannya dengan eksodus besar-besaran ke daerah yang lebih stabil curah hujannya seperti Sumatera Timur (dolok masihol) dan  angkola  (sekarang tapanuli selatan).

Keberadaan Pallupuk di angkola dengan menggunakan Nama/Marga Pohan (yang diambilnya dari kakek moyangnya sibagot ni Pohan). Sehingga banyak turunan simanjuntak secara umum di angkola meng- gunakan marga Pohan, maka simanjuntak di angkola diidentikkan dengan Pohan, walaupun ada bebe-rapa dari turunan sibagot ni Pohan seperti Panjaitan dan Siahaan dan Hutagaol yang menggunakan Marga Pohan, tapi jumlahnya sangat sedikit. 

Kalau yang dari bona pasogit secara spesipik tidak mengetahuinya, tapi kalau Pohan angkola menge-tahuinya. Yang paling nyata kalau pada saat kita kenalan lebih mendalam kepada mereka (Pohan) di angkola, terutama yang mengetahui sejarah dan lagendanya. Pada saat kita berkenalan kepada Pohan, lalu kita katakan; Horas aku “Simanjuntak Pallupuk, kalau dia dari Pallupuk dia langsung menjawab ke kita “namar kaha maranggi do hita”, beta ma tu bagas. (kita adalah kakak adik, kerumahlah dulu kita)”.  Akan tetapi kalau Pohan yang bukan dari Pallupuk yang kita temui, maka mereka akan bingung dengan kata Pallupuk. Nah untuk lebih halusnya lebih baik kita perkenalkan diri kita simanjuntak saja, lalu selanjutnya dapat diperdalam lagi (sambil melihat situasi dan kondisi Pohan lawan bicara kita tsb).

Penulis adalah eks siswa SMAN 3, Padang Matinggi, angkola (tapsel) dan pada saat jalan-jalan ke Tano Tombangan 1984 Tapsel, di daerah tersebut banyak dijumpai Simanjuntak dari generasi Pallupuk. Dan menurut cerita Marihot Pardomuan Pohan, yang Penulis temui di Desa si Abu bahwa pemuka Huta di Angkola ini secara umum adalah turunan Simanjuntak Pallupuk yang tadinya menggunakan nama Pohan yang selanjutnya menjadi Marga Pohan. Bahkan dia dikatakan Raja Pohan disini karena menguasai sebahagian besar tanah Angkola ini. (Bisa dikatakan bahwa pemuka Pohan di angkola adalah generasi dari Pallupuk).

Simanjuntak Pallupuk Menjadi Marga Nasution
Alkisah, ada lelaki saudagar paruh baya yang kaya raya di Padang Matinggi, Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan. Areal perdagangannya Sipirok, Padang Sidempuan dan Panyabungan. Setiap minggu Ia mengangkut barang dagangannya dengan kereta kuda, kadang 3 kereta, kadang lima keterta sesuai kebutuhan. Setiap ketera kuda diusung oleh seorang pegawinya. Suatu ketika sepulang dari Panya-bungan di daerah Siabu, Ia disantroni segerombolan perampok. Kereta kuda dan uang hasil penjualan barang dagangannya ludes diambil semua oleh perampok. Dan bahkan 7 orang pegawainya mati ditempat dibunuh oleh perampok, sementara si saudagar kaya terkapar kena bacok di bahu dan kakinya.

Saat perkelhian itu kebetulan ada seorang lelaki Duda bermarga Simanjuntak dari turunan Pallupuk yang baru ditinggal mati istrinya saat melahirkan anak satu-satunya. Dalam perjalanan tsb Ia menggendong anaknya yang masih kecil  baru bisa berjalan (lehet mardalan) menuju Sipirok ke tempat mertuanya marga Siregar. Melihat kejadian itu si lelaki Duda tersebut tersentak hatinya untuk menolong si orang tua saudagar kaya tersebut. Perlahan diletakkannya anaknya dibawah pohon sembari berkata; anakku jangan pergi dari sini, jangan menangis, ayah mau menolong orang tua disana sembari ditunjukkannya, dan si anak sepertinya mengerti akan pesan ayahnya dan diam saja ditempatnya.

Dalam perkelahian dengan para perampok itu ahirnya 5 orang dari perampok itu mati dibuatnya, melihat beberapa temannya mati maka perampok lainnya kabur. Akan tetapi si lelaki Duda tsb juga kena bacok, demikian juga si saudagar yang sudah lebih dahulu terkapar. Akan tetapi sebelum ia meninggal ia menghampiri anaknya dan membawanya ke si Saudagar kaya tsb lalu berpesan; Amang saya Pohan (sebagaimana diceritakan sebelumnya bahwa Pohan adalah turunan Simanjuntak Pallupuk) tolong berikan anak ini ke oppung baonya Siregar di Sipirok, ibunya meninggal saat melahirkan anak ini, selama ini kami tinggal di Panyabungan, hidupku tidak lama lagi, berjanjilah. Si saudagar menyahut; jangan mati,,,,,,jangan mati,,,,berusahalah untuk hidup. Lalu si Lelaki duda menjawab;  aku tidak kuat lagi menahan sakit ini,,,,,,ini sudah takdir dari Mulajadi Nabolon. Lalu ia tidak bernyawa lagi.

Keesokan harinya di pagi hari para petani mau ke ladang melewati jalan itu, lalu mendapati seorang anak menangis disamping ayahnya dan meminta makan karena kelaparan, sembari menggoyang-goyangkan muka dan badan ayahnya. Petani desa itupun melihat satu persatu lelaki yang terkapar, dan didapatilah bahwa si saudagar kaya masih hidup dengan luka bacokan di kepala, tangan, dada dan punggungnya. Lalu si petani tsb merawat mereka ke rumahnya beserta anak kecil itu. Sontak seketika tersiarlah berita atas kejadian itu ke penduduk sekitar.

Dua hari berikutnya pesanpun disampaikan ke istri si saudagar kaya tsb, istri si saudagar kaya datang menjemput suaminya dan sekalian beserta anak kecil itu kerumahnya.
Setelah dua bulan berlalu, luka si saudagar kaya sembuh kesehatannyapun pulih sebagaimana sedia kala, iapun mengingat janjinya akan membawa si anak tersebut ke tempat oppungnya di sipirok, lalu berkata ke istrinya; istriku besok anak ini akan kukembalikan ke oppungnya sesuai janjike ke ayahnya sebelum ia menghembuskan napasnya yang terahir, ayahnya si anak inilah yang menolong nyawaku hingga aku masih bisa hidup sampai saat ini, kata si saudagar kaya ke istrinya.

Mendengar suaminya berkata demikian; si istri mikanya kelihatan sedih, sebab selama anak itu bersamanya, ia telah terhibur dibuat si anak itu karena kelucuan dan kepintaran si anak itu. Lalu berkata; suamiku, biarlah anak ini beserta kita, hatiku telah bergembira ria sejak melihat anak ini, janganlah tambahkan lagi kesusahan akan diriku, kita telah sepuluh tahun berumah tangga tapi tidak juga dikaruniai anak, ini sudah kehendak Mulajadi Nabolon dengan menitipkan anak ini untuk menjadi anak kita, kata istrinya.

Melihat kesungguhan istrinya untuk memiliki anak itu, maka si saudagar kaya itupun mengalah dan memendam rasa bersalahnya akan janjinya kepada ayah si anak itu. Baiklah kata suaminya.
Kesenangan Istrinya itupun makin hari makin bertambah.
Anehnya dua tahun setelah kejadian itu, istri si saudagar kaya mengandung dan melahirkan anak lelaki.  

Kasih sayangnya terhadap anak angkatnya itu sangat dalam bahkan sedalam anak kandungnya, dan apabila ia memperkenalkan anaknya kepada sanak saudara dan orang lain selalu diutarakannya inilah anakku sikahaan=sihahaan=siahaan (maksudnya anak yang paling besar yaitu anak angkatnya). Selanjutnya anak kandungnya yang kedua atau yang paling kecil dikatakan sianggian.

Karena ungkapan anak Siahaan itulah maka marga Siahaan menyatakan, bahwa anak itu adalah anak mereka (siahaan).
Demikian juga selanjutnya
Karena ungkapan anak Sianggian itu juga marga Siagian menyatakan, bahwa anak kedua (bontot) itu adalah anak mereka (siagian).

Beberapa tahun kemudian sebelum si saudagar kaya meninggal dunia, Ia mengundang sanak saudara dan famili terdekat beserta adik-adiknya. Setelah selesai makan malam, maka sisaudagar kaya mengatakan kepada mereka semua bahwa; Anak angkatnya akan mendapatkan waris yang sama dengan anak kandungnya. Sontak seketika; satu dari dua adik kandungnya tidak menerima putusan abangnya itu.

Dua tahun kemudian meninggal dunialah si saudagar kaya itu, dan kesempatan tsb dimanfaatkan adiknya yang tidak setuju untuk menyudahi si anak angkat abangnya dengan merencanakan untuk membunuhnya. Agar tipu muslihatnya kelihatan cerdik maka disuruhnyalah anak kandungnya untuk berteman dengan si anak angkat abangnya tsb.

Alasan untuk menyudahi si anak angkat sangatlah jelas; karena adik-adik si saudagar kaya turut serta dalam usaha si saudagar kaya tsb, dan setiap tindakan adik sisaudagar kaya untuk menjual harta benda si saudagar kaya selalu dihalang-halangi si anak angkat.

Disuatu malam diberilah order untuk membunuh si anak angkat, dengan memberikan ciri-ciri kepada si pembunuh; bahwa yang dibunuh adalah anak lelaki yang rambutnya paling panjang diantara mereka yang tidur.

Anehnya dimalam itu kepala sianak angkat gatal-gatal akibat kemasukan kutu busuk, karena tidak tahan lagi akan gatalnya maka disuruhnyalah kedua adiknya untuk memotong rambutnya. Sesudah dipotong barulah ia bisa tidur.

Keesokan harinya adik si saudagar kaya terkejut, karena melihat ada anak lelaki botak mirif si anak angkat berjalan didepannya saat mau mandi ke pancuran, keheranannya itu segera dipastikannya apakah yang mirif itu si anak angkat atau bukan. Setelah dilihatnya dengan teliti potongan kepala yang diberikan kepadanya dimalam kejadian itu, ternyata adalah anaknya sendiri. Dengan rasa sedih buru-buru kepalanya itu disatukannya ke badan anaknya.

Sehabis si anak angkat pulang mandi, ia segera berpura-pura memanggil anaknya kerumah si saudagar kaya abangnya itu. Karena tidak ada sahutan, maka ia seolah mencari-cari, dan pura pura menanyakan, tidak berapa lama kemudian mereka menemukan anaknya telah tergorok putus lehernya. Anak itupun ditangisinya dengan sekuat tenaga seharian lamanya. Melihat kejadian itu, gemparlah keadaan di sekitar kampung itu.

Dengan nada keras Ia pun balik menuduh bahwa pelakunya adalah si anak angkat,  akan tetapi bukti akan hal itu tidak ditemukan. Hal itu dilakukannya hanya untuk mengelabui perbuatan kotornya saja. Belakangan diketahui oranglah bahwa ialah (adik si saudagar kaya) otak pelakunya, hal itu terbongkar pada saat ia menagis dikuburan anaknya, yang dilakukannya pada saat orang sepi.
Ahirnya masyarakat setempat yang mengetahuinya lalu mengatakan si anak angkat tsb Nasangtion (baca Nasaktion yang artinya orang sakti), yang ahirnya dalam ungkapan sehari-hari dikatakan Nasution.

B. Kesimpulan ;
1.  Anak dari Sibursok Pati
Dari berbagai sumber.
Sibursok Pati memiliki tujuh anak yang beraneka ragam, sifat dan corak keanehan yang diberikan Yang Maha Kuasa kepadanya; Ada yang sakti (1.Sitingkir Ulubalang, Gelar Partahi Oloan (Datu Malela) Ia mampu melihat isi hati orang dan juga mampu meramal apa yang akan terjadi kelak. Ada yang Bijak (2.Pallupuk); Ada yang gemar berkelahi (3.Guru Sosunggulon) apabila diutarakan suatu permasalahan kepadanya pasti dilakoninya (pantang so disungguli pintor bingkas); Ada yang tidak kenal takut akan mara bahaya setan (4.Raja Sohatahutan); Ada yang yang ahli sepat lidah (5.Raja Mandalo) segala sesuatu baginya adalah benar adanya (versi humbang; mandalo=meng-iyakan semua perkataan orang, yang penting kepentingannya tercapai); Ada yang gemar adu pendapat atau patungtang (6.Raja Marlohot, Gelar Raja Sotaralo dan yang bungsu (7.Raja Naposo) ia tidak pernah kelihatan tuaWalaupun ahirnya ia menikah, tapi tidak ada keturunan dari biologisnya, akan tetapi ia mengangkat anak abangnya Raja Marlohot sebagai anaknya.

2.  Pemberian Nama (gelar) atau Goar Tulut.
Adapun pemberian nama sibursok kepada tiga anak Raja Tumonggotua; Ronggur; Datu; Pati, bukan pemberian ayahnya, akan tetapi sibursok adalah goar tulut (gelar) yang diberikan masyarakat atau panggilan orang sehari hari, karena mereka merupakan inti (versi humbang; si-bursok=inti) dari sesuatu yang dimilikinya. Sibursok Ronggur; Suaranya sangat kuat, sehingga ia digelari; Babiat ni humbang pe lintum marimpoti dibaen gogoni suarana. Sibursok Datu; karena ia dapat mengalahkan datu-datu (adu kesaktian). Sibursok Pati ; karena hanya ia yang mampu marpati-patian (kata-kata sumpah janji) dan terjadi.
Akan tetapi dari tujuh anak Sibursok Pati, hanya dua orang yang mempunyai lagenda yang hidup yaitu Sitingkir Ulubalang dan Pallupuk.

Note; Apabila ada tulisan ini yang kurang tepat, akan diperbaiki sebagaimana mestinya.

**************

Pesan Moril;
Anekdot sifat orang Batak yang negatif berdasarkan daerah dimana ia tinggal, Yang perlu diperbaiki;  Elat-Teal-Late-Toal-Hosom-Rajani-Rereni

Elatni Angkola - Tealni Silindung - Lateni Simalungun - Toalni Toba - Hosomni Karo - Rajani Samosir - Rereni Humbang

Elat-ni; Ia tidak suka melihat temannya maju
Elat rohana molo adong donganna maju.

Teal-ni; Apakah sudah ada yang membeli kalian ? Padahal dia sendiripun pengangguran.
Nungnga laku hamuna tahe ?, hape ibana pe somangan dopena.
Ai nungnga lakku tahe borumu nai ?, hape borunape nangngo pola sada dang adong namanopot.

Late-ni; Benci hatinya melihat orang berhasil
Late rohana mamereng donganna hasea.
Atik ahape nanidokni si anu i......, molo dang lomo rohana mamereng, sai na salado sude.

Toal-ni; Memangnya sudah sekaya apa dia ?, padahal diapun tidak bisa berbuat.
Ai pintor naung boha haroa hamoraonnai ?, hape ibanape pogos.
Ai sadia haroha argani mobilnai ?, hape ibana nanggo pola manuhor sepeda pe dang boi

Hosom-ni; Kita pikir teman padahal hatinya busuk
Sai nirippu dongan hape rohana mangulohi.  

Raja-ni; Dia itu saudara dekatku, padalah saudara jauh
Apola ; lae ni, anak ni tulangku, sipaidau mai, sian oppu ni ompu namartinodohon.
Jala hami dopena i. Dokkon hamuma goarhu tu nasida.

Rere-ni; Menunjukkan kerendahan hati, setelah berkenalan, lalu ia mengajak orang itu kerumahnya.
Molo marsitandaan, jolo tu jabuma hita manggadong,
huhut dipahembang rere laho hundulan nasida, barupe mangkatai.

***********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar